Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terkoreksi cukup dalam, Jumat akhir pekan ini (27/10). Berdasar kurs tengah Bank Indonesia, rupiah berada di posisi Rp 13.630 per dollar Amerika Serikat (AS) melamah 0,52% dibanding hari sebelumnya. Dalam sepekan rupiah bahkan melemah 0,7%.
Pelemahan rupiah menjadi kabar buruk bagi sejumlah emiten, yakni emiten yang memiliki beban utang dalam bentuk dollar AS dan emiten yang banyak menggunakan bahan baku atau komponen impor.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital mengatakan, beban keuangan perusahaan dengan banyak utang dollar AS bakal naik. Biasanya, emiten properti yang memiliki pos utang dalam bentuk ini. Contohnya, kata Alfred, adalah emiten properti PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) . Sehingga, Alfred menyarankan hindari emiten sektor ini.
Perusahaan yang banyak menggunakan bahan baku impor juga terkena dampak. Penguatan dollar terhadap rupiah membuat mereka harus membayar biaya impor yang ,ebih tinggi. Sebut saja emiten sektor farmasi, ritel, baja, dan industri dasar yang menggunakan banyak komponen dari luar negeri.
Contohnya, menurut Liyanto Sudarso, Investment Analyst MNC Asset Management, antara lain PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Namun, menurut Albert, meski terdampak pelemahan rupiah, tapi dampaknya tidak terlalu besar. "Karena biasanya mereka sudah membeli di awal, dan memiliki rentang harga pembeliannya juga," ujarnya.
Edwin Sebayang Kepala Riset MNC Sekuritas menambahkan, jika pelemahan nilai tukar rupiah berlangsung lama, tak hanya sisi operasional yang terpengaruh, tetapi juga kewajiban jangka panjang emiten, seperti surat utang.
Di sisi lain, ada emiten yang justru meraih keuntungan dari pelemahan rupiah. Yakni, perusahaan yang banyak melakukan penjualan ekspor. Khususnya, emiten yang penjualannya dalam dollar, sementara biaya operasionalnya dalam rupiah.
Alfred memberi contoh, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang banyak mengekspor produk tekstilnya. Lalu, emiten perikanan yang 90% produknya diekspor, seperti PT Dharma Samudera Fishing Industries Tbk (DSFI) juga bakal dapat laba kurs.
Selain itu, menurut Edwin, emiten komoditas tetap berjaya meski rupiah melemah. Misalnya, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), dan PT Harum Energy Tbk (HRUM) yang berorientasi ekspor.
Masih bisa melemah
Menurut Alfred, pelemahan rupiah saat ini masih terbilang wajar. Rupiah tengah merespons rencana kenaikan suku bunga The Fed. "Dalam dua minggu ini rupiah ada di level Rp 13.500–Rp 13.600 per dollar AS. Pasar melihat masih wajar," tambahnya.
Alfred yakin pelemahan rupiah hanya jangka pendek. Pasalnya, indikator makroekonomi Indonesia menujukkan perbaikan. "Jadi masih belum mencemaskan sekali," ujarnya. Selain itu, Bank Indonesia pun diyakini akan tetap melakukan intervensi.
Sebaliknya, Edwin memperkirakan, kurs rupiah masih berpotensi melanjutkan pelemahan. Rencana The Fed merampingkan neraca, membuat peluang kenaikan suku bunga The Fed naik. Ini bisa menekan rupiah. Belum lagi jika rencana pemotongan pajak di AS terealisasi. "Kalau pelemahan rupiah berlangsung lama, pengaruhnya besar dan cukup riskan," imbuh Edwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News