Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah delapan bulan dirancang oleh pemerintah akhirnya Bursa Karbon Indonesia atau IDX Carbon di bawah naungan PT Bursa Efek Indonesia resmi meluncur pada Selasa (26/9).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapatkan mandat dari UU No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) untuk mengatur dan mengawasi perdagangan karbon.
OJK akhirnya menerbitkan Peraturan OJK 14/2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Menyusul, Surat Edaran OJK 12/2023 tentang tata cara penyelenggaraan perdagangan karbon.
Baca Juga: Rekap Perdagangan Perdana Bursa Karbon, Pembeli Dari Sektor Keuangan Dominan
Meski di bawah nahkoda BEI, bursa karbon memiliki perbedaan jika disandingkan dengan pasar modal atau saham. Hal yang mendasar ialah produk yang ditawarkan.
Dalam transaksi bursa karbon hanya ada dua produk yang diperdagangkan, yaitu Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).
Untuk satuan volume perdagangan pun berbeda. Di bursa karbon Indonesia menggunakan kelipatan 1 lot yang setara dengan 1 ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Jeffrey Hendrik, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia menjelaskan perdagangan karbon hanya bisa dilakukan oleh pihak institusi saja, tidak melayani ritel.
Baca Juga: Bursa Karbon Resmi Meluncur, Siap berkontribusi Tekan Emisi Karbon Global
"Tujuannya adalah untuk bagaimana negara ini bisa mencapai net zero melalui perdagangan karbon, bukan untuk spekulasi," kata dia di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Selasa (26/9).
Bursa karbon memiliki empat mekanisme perdagangan, yaitu bursa karbon, yaitu, pasar reguler, pasar negosiasi, pasar lelang dan marketplace (non reguler).
Jika di pasar saham menggunakan sistem Jakarta Automated Trading System (JATS), maka sistem menggunakan teknologi berbasis blockchain milik AirCabon Exchange (ACX).
"IDXCarbon telah menunjuk ACX sebagai vendor untuk sistem perdagangan bursa karbon dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan Indonesia," jelas Jeffrey.
Sistem ACX sendiri sudah dipakai oleh bursa karbon Singapura dan Abu Dhabi. Namun untuk pasar Indonesia, ACX melakukan modifikasi dan penyelarasan dengan SRN-PPI.
Baca Juga: Usai Pertamina, Anak Usaha PLN Bakal Masuk Bursa Karbon
ACX memberikan layanan end-to-end dengan memanfaatkan teknologi blockchain untuk memastikan transparansi dan kemampuan audit untuk skema perdagangan di bursa karbon.
Hasil Perdagangan Perdana
Pada perdagangan perdana ini hanya ada produk yang diperdagangkan PT Pertamina Power Energi alias Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE).
Adapun Pertamina NRE menawarkan Unit Karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) di harga Rp 69.600 dan Rp 70.000.
Sepanjang perdagangan ada 27 transaksi dengan total volume mencapai 459.953 ton CO2e berasal dari 15 pengguna jasa dengan nilai transaksi senilai Rp 29,20 miliar.
Baca Juga: Jokowi Optimistis Indonesia Bisa Menjadi Poros Karbon Dunia
Jeffrey merasa bersyukur atas pencapaian di hari perdana perdagangan bursa karbon. Raihan ini merupakan awal yang baik bagi Bursa Karbon Indonesia.
"Di hari pertama volume perdagangan bursa karbon tetangga hanya di kisaran 150.000 ton CO2e karbon, sementara Indonesia hampir tiga kali lipat di hari pertama," ujar dia.
Pakar Investasi dan Sustainability Rio Christiawan menilai bursa karbon di Indonesia berpotensi menjadi salah satu bursa terbesar di dunia, potensi karbon dalam negeri masih besar.
"Volume blue carbon dan green carbon yang dapat dihasilkan di Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia," jelas Rio kepada Kontan, Selasa (26/9).
Baca Juga: Potensi Hingga Rp 3.000 Triliun, Jokowi Optimistis RI Bisa Jadi Poros Karbon Dunia
Untuk memperbesar volume perdagangan, Rio menilai Indonesia perlu mengatasi persoalan over regulated pada industri karbon dan perlu mempermudah pengurusan perizinan restorasi ekosistem.
Memang saat ini bursa karbon belum tentu optimal, tetapi Rio menilai volume penjualan karbon berangsur-angsur akan meningkat pada 2025 ke atas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News