Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Per hari ini, tercatat sudah 46 perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2019. Terakhir, PT Dana Brata Luhur Tbk (TEBE) yang menjadi perusahaan tercatat ke-46 sepanjang 2019 dan perusahaan ke-659 yang tercatat di BEI.
Di hari pertama perdagangannya, saham TEBE melesat 49,77% ke level Rp 1.640 dan nyaris terkena auto rejection. Hingga penutupan perdagangan hari ini pun saham TEBE bergeming di posisi tersebut.
Baca Juga: Simak rekomendasi teknikal saham BBCA, AALI, dan UNTR
Bukan hanya TEBE, tetapi beberapa saham muda yang baru IPO pun banyak yang menunjukkan pergerakan tidak wajar. Sebut saja saham PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (SLIS) bisa yang sempat disuspensi oleh BEI pekan lalu.
Kamis (14/11), BEI menghentikan sementara perdagangan saham SLIS karena terjadi peningkatan harga kumulatif yang signifikan. Pada perdagangan Rabu (13/11), harga saham SLIS naik Rp 1.000 atau 22,99% ke Rp 5.350 per saham.
Ini adalah harga tertinggi saham SLIS sejak IPO pada 7 Oktober 2019 lalu. Menilik sebulan ke belakang, saham SLIS telah meroket lebih dari 198,04% hingga hari ini.
Baca Juga: Belasan saham terkena auto reject bawah, begini saran analis
Selain SLIS, ada juga saham PT Darmi Bersaudara Tbk (KAYU) yang pada 9 November 2019 silam diberi status Unusual Market Activity (UMA) oleh BEI akibat penurunan saham yang tidak biasa. Padahal, KAYU baru saja mencatatkan sahamnya di BEI pada 4 Juli 2019.
Tak mau ketinggalan, saham PT Bhakti Agung Propertindo Tbk (BAPI) yang terkena UMA di hari 12 sejak IPO. Kini, saham BAPI tak beranjak di level Rp 50 per saham sejak sebulan silam.
Lantas, masih menarik kah berinvestasi di saham emiten yang baru saja mengadakan Initial Public Offering (IPO)?
Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, terdapat beberapa faktor yang mesti dicermati sebelum memutuskan untuk terjun ke saham baru.
Baca Juga: Terpopuler: Lo Kheng Hong jual ruko, pabrik sepatu hengkang dari Banten
Aria menegaskan, faktor terpenting adalah mencermati segi fundamentalnya, apakah perusahaan tersebut membukukan pendapatan yang positif setidaknya 3-5 tahun terakhir.
“Dan earning-nya juga ada pertumbuhan setiap tahunnya yang lebih tinggi dari nilai inflasi,” ujar Aria saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (18/11).
Selain itu, hal terpenting dari sebuah emiten yang baru IPO adalah kesehatan finansialnya, terutama dari sisi rasio utang perusahaan. Hal ini dapat menggambarkan bagaimana perusahaan tersebut dalam membayar beban bunga utang.
Aria juga menilai saham perusahaan yang baru IPO biasanya ’dijual’ dengan harga yang tidak terlalu jauh dari nilainya. Jika investor menganggap harga sahamnya terlalu mahal, maka investor dapat menunggu paling tidak dua kuartal untuk menilai bagaimana kinerja perusahaan setelah melakukan pencatatan saham. Jadi, investor tidak perlu tergesa-gesa dalam menyikapi saham-saham yang baru IPO.
Baca Juga: Tergelincir hari ini, IHSG diprediksi bakal bangkit pada Selasa (19/11)
Kontan.co.id mencatat, ke-46 emiten yang melantai di bursa sepanjang tahun 2019 datang dari bermacam latar belakang sektoral yang berbeda. Misalkan saja SLIS yang masuk sektor miscellaneous industry.
Saham BAPI masuk ke dalam sektor properti, PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) yang trmasuk ke dalam sektor industri dasar, hingga PT Ginting Jaya Energi Tbk (WOWS) yang masuk ke dalam sektor pertambangan, dan lainnya.
Aria menilai, masing-masing sektor tersebut memiliki tantangannya tersendiri. Misal sector property yang secara siklus memang masih membutuhkan waktu untuk bangkit. Sementara untuk sektor tambang, energi, dan industri dasar (besi/baja), investor perlu memperhatikan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan.
Terakhir, Aria menyarankan investor agar memperhatikan prospek dan strategi perusahaan ke depan setelah resmi melantai di bursa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News