Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masyarakat mau tidak mau harus segera bersiap dengan tatanan gaya hidup baru yang disebut “New Normal”. Sebuah keadaan yang mengharuskan kita menata ulang kehidupan seiring penyebaran pandemi virus corona. Dalam berinvestasi pun, para investor harus menyusun ulang portofolionya untuk beradaptasi dengan kondisi saat ini.
Investment Specialist Sucorinvest Asset Management Toufan Yamin menyebut, pergerakan pasar ke depan masih akan dibayangi oleh tekanan pelemahan ekonomi akibat penyebaran virus corona. Terlebih, Indonesia sendiri masih akan menempuh jalan yang panjang.
Baca Juga: Cara Warren Buffett dan Masayoshi mengelola kerugian besar karena kesalahan investasi
“Kami melihat aktivitas ekonomi akan bergerak seperti U-shaped recovery atau pulih secara bertahap dengan perlahan pasca pandemi ini. Kemudian tensi perang dagang antara China dan Amerika yang kembali memanas akan turut meningkatkan volatilitas pasar,” ujar Toufan kepada Kontan.co.id, Senin (25/5).
Sementara Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menilai, berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah tidak akan mampu menjaga stabilitas pasar. Menurutnya, pada akhirnya pergerakan pasar yang lebih sustainable ditentukan oleh ketika penyebaran virus corona berakhir.
Lebih lanjut, Toufan memperkirakan, kondisi pasar masih akan sangat volatil setidaknya hingga kuartal III-2020 seiring sentimen penyebaran pandemi dan perang dagang yang kembali memanas. Oleh karena itu, untuk investasi jangka pendek, Toufan menyarankan investor untuk fokus terhadap capital preservation.
“Untuk instrumen investasinya bisa dengan reksadana pasar uang hingga 60% merupakan pilihan yang paling bijak. Sementara 25% pada reksadana pendapatan tetap atau SUN dengan durasi menengah, dan sisanya 15% pada saham blue chip atau reksadana saham,” jelas Toufan.
Baca Juga: Valuasi murah, reksadana saham jadi pilihan menarik untuk investasi jangka panjang
Menjaga likuiditas juga dinilai Farash sebagai pilihan tepat untuk investasi jangka pendek saat ini. Ia merekomendasikan untuk mengalokasikan 80% ke pasar uang dan 20% sisanya ke obligasi. Menurutnya, saat ini investor sebaiknya memilih instrumen dengan imbal hasil paling stabil seperti reksadana pasar uang.
“Selain itu, imbal hasil reksadana pasar uang lebih tinggi dibandingkan dengan deposito atau memegang cash. Sementara untuk obligasi, investor bisa memilih menggunakan ETF obligasi untuk memudahkan transaksi secara online, spread bid offer yang tidak lebar, ditambah pajaknya pun lebih rendah,” kata Farash.
Baca Juga: IHSG diperkirakan melemah setelah Lebaran, ini sebabnya
Sementara untuk jangka panjang, baik Farash atau Toufan sama-sama merekomendasikan untuk masuk ke saham atau reksadana saham yang dari segi valuasi sudah sangat murah. Terlebih, Toufan melihat pada kuartal IV-2020 kinerja emiten akan mulai membaik.
Oleh karena itu, untuk jangka panjang Toufan menilai, alokasi yang cukup ideal adalah 50% pada reksadana saham atau dapat juga dikombinasikan dengan portofolio saham untuk investor berprofil risiko agresif. Lalu 30% pada SUN dengan tenor panjang atau reksadana pendapatan tetap. Sementara sisanya 20% pada reksadana pasar uang.
Sedangkan Farash merekomendasikan untuk jangka panjang sebesar 80% pada reksadana saham dan 20% sisanya pada obligasi atau reksadana pendapatan tetap.
Baca Juga: Mau mulai investasi saat pandemi, perhatikan empat syarat berikut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News