Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memproyeksikan pasar keuangan global sedang menyambut era suku bunga rendah yang akan terjadi dalam waktu panjang. MAMI optimistis pasar saham mampu berkinerja lebih baik di akhir tahun.
Katarina Setiawan, Chief Economist dan Investment Strategist MAMI mengatakan, tren penurunan suku bunga secara historis bisa menopang pasar saham global, terutama negara berkembang.
Baca Juga: IHSG bergerak mendatar dengan net sell tebal di akhir sesi I
Tren suku bunga rendah terjadi karena inflasi di negara maju yang rendah. Hal ini membuat bank sentral global kompak menjaga tingkat suku bunga di level rendah dengan tujuan mencapai kenaikan target inflasi.
Selain itu, banyaknya ketidakpastian di pasar global terkait konflik dagang, geopolitik dan kebijakan suku bunga menekan bisnis dan tingkat inflasi global. Akibatnya, inflasi yang rendah dan terus berada di bawah target membuat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve mengubah postur kebijakannya menjadi lebih akomodatif.
Baca Juga: MAMI: Konflik global menahan sentimen positif kenaikan rating S&P bagi Indonesia
"Kondisi ini akan menciptakan iklim lower rate for longer dimana bank sentral akan menjaga tingkat suku bunga di level rendah secara berkepanjangan untuk mencapai target inflasinya," kata Katarina, Selasa (20/8).
Di tengah tren penurunan suku bunga, Katarina mengatakan valuasi saham masih menarik. Dia memproyeksikan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bisa naik ke level 6.750-6.800. Laba korporasi diharapkan tumbuh 9% di tahun ini dan 10% di 2020.
Katarina optimistis karena setelah The Fed menurunkan tingkat suku bunganya dan diikuti oleh negara lain, maka hal itu bisa menopang pasar saham global, terutama negara berkembang. Secara historis dalam 245 hari setelah penurunan Fed Rate di tahun 1989, 1995, 1998, 2001 dan 2007, pasar saham Asia menunjukkan kinerja lebih tinggi secara rata-rata sebesar 19,9% dibanding pasar saham AS yang tumbuh 6,7%.
Penurunan suku bunga membuat sektor perbankan menarik untuk dipilih. Katarina juga menyukai sektor telekomunikasi yang dinilai kebal pada risiko pelemahan ekonomi.
Selain itu, seiring berkembangnya mobil hybrid, permintaan nikel naik dan menjadi sentimen positif bagi sektor logam dasar. Terakhir, Katarina menyukai sektor properti industri karena mendapat dukungan dari perusahaan luar negeri yang merelokasi pabriknya ke Indonesia.
Baca Juga: Pasar goyah, kinerja reksadana pasar uang paling stabil
Dengan potensi pertumbuhan yang masih ada, maka Katarina merekomendasikan bagi investor agresif bisa akumulasi beli instrumen investasi berbasis saham untuk keperluan jangka panjang. Sementara untuk jangka pendek, Katarina mengatakan bisa membeli produk investasi berbasis obligasi.
Selain karena faktor tren suku bunga rendah, Katarina mengatakan kinerja pasar saham bisa naik karena didukung stabilitas politik dalam negeri. Kabinet baru Presiden RI Joko Widodo juga diharapkan bisa membuat reformasi perpajakan, investasi dan sumber daya manusia agar pertumbuhan ekonomi turut naik.
Baca Juga: Investor reksadana naik berkat penetrasi teknologi di pasar keuangan
Sentimen negatif masih membayangi pasar saham, yaitu perang dagang. Katarina mengatakan, China masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter dan pemangkasan pajak guna menggenjot pertumbuhan ekonomi di tengah perang dagang.
"Ekonomi China yang lebih stabil bisa mendukung aktivitas perdagangan global dan mendukung sentimen bisnis serta pertumbuhan ekonomi global," kata Katarina.
Skenario dagang AS dan China yang Katarina proyeksikan adalah akan terjadi kesepakatan dagang sebelum Pemilu AS, Agustus 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News