Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Menyusul penantian pasar akan rilis data HSBC manufaktur China Juni 2015 pada Selasa (23/6) yang diduga masih bergelut dalam fase kontraksi memicu harga timah turun signifikan. Sebabnya, hingga Mei 2015 manufaktur China sudah lesu dalam tiga bulan berturut-turut.
Mengutip Bloomberg, Senin (22/6) pukul 1.19 pm Hong Kong harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange merosot 1,13% ke level US$ 15.220 per metrik ton dibanding penutupan sebelumnya. Begitu pun dalam sepekan terakhir harga timah masih melambung 2,83%.
“Harga turun tajam karena tekanan lesunya perekonomian China,” kata Ibrahim, Analis dan Direktur PT Komoditi Ekuilibrium Berjangka. Adapun rilis HSBC Flash Manufacturing PMI China Juni 2015 diduga naik dari sebelumnya 49,2 menjadi 49,4.
Namun level manufaktur tersebut masih di bawah level 50. Jika pun Selasa (23/6) rilis data membaik sesuai prediksi, pasar tidak lagi optimis. “Butuh genjotan hasil data signifikan atau menembus level 50 untuk menggenjot harga timah,” ujar Ibrahim.
Karena tekanan harga juga datang lewat penantian pasar akan rilis data penjualan rumah AS Mei 2015 yang diduga naik menjadi 5,27 juta dari sebelumnya 5,04 juta.
Seharusnya ini positif bagi permintaan timah di pasar tapi di sisi lain positifnya rilis data properti ini akan menyebabkan index USD semakin perkasa. “Berarti juga akan mendorong naiknya tenaga kerja yang mendorong spekulasi kenaikan suku bunga The Fed akhir tahun 2015 terbuka lebar,” papar Ibrahim.
Diprediksi harga timah Selasa (23/6) sulit rebound. Banyaknya katalis negatif yang membelenggu timah membuat Ibrahim menduga harga masih akan tertekan. “Apalagi jika Yunani dan Eropa masih tidak sepakat,” tambahnya.
Pasalnya, Senin (22/6) berlangsung pertemuan Yunani dan Eropa membahas permasalahan utang Yunani. “Jika Yunani default dan keluar dari Zona Eropa maka ECB akan kehilangan 1,1 triliun euro. Efeknya ekonomi Eropa akan terseret gelombang resisi yang besar,” jelas Ibrahim.
Maka bisa dipastikan untuk beberapa waktu ke depan permintaan timah dari Eropa belum akan membaik. Sedangkan China juga masih lesu. “Artinya secara global permintaan timah memiliki masa depan yang suram dan menekan harga,” ujar Ibrahim.
Ini membuat beberapa katalis positif seakan tenggelam. Sebut saja penyusutan stok timah di LME menjadi 6.700 ton serta upaya Indonesia untuk mendongkrak harga komoditas utamanya seperti timah yang tidak berpengaruh di pasar.
“Harga Selasa (23/6) di kisaran US$ 15.200 – US$ 15.400 per metrik ton dan sepekan antara US$ 14.900 – US$ 15.400 per metrik ton,” tutup Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News