Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Noverius Laoli
Tak hanya nikel, merosotnya industri properti di China juga akan berdampak ke pelemahan permintaan komoditas tembaga. Analis Indo Premier Sekuritas Erindra Krisnawan menilai, kesulitan keuangan pengembang properti China menjadi risiko penurunan permintaan tembaga dari negara tersebut.
Erindra menyebut, harga tembaga di bursa LME bergerak sideways pada pertengahan kuartal kedua hingga kuartal ketiga 2023, dan bergerak di kisaran US$ 8.000 sampai 8.500 per ton.
Bersama dengan komoditas logam lainnya, sentimen harga tembaga didorong oleh berlanjutnya pelemahan data makroekonomi China, meskipun indikator pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat (AS) masih yang solid dengan menurunnya tingkat inflasi.
“Di tengah melemahnya pertumbuhan permintaan dan pasokan (supply), kami melihat kemungkinan harga tembaga akan bergerak menuju level support US$ 7.800 per ton,” kata Erindra.
Baca Juga: Ekonomi China Melemah, Ekonomi Dunia juga Ikut Goyah
Erindra juga menyematkan rating netral terhadap sektor pertambangan logam di tengah prospek harga komoditas logam yang lebih bearish.
Erindra berpendapat, harga logam yang cenderung bearish pada paruh kedua 2023 kemungkinan akan mendominasi sentiment pada sektor ini, meskipun valuasi saham di sektor menarik dan ada potensi nilai tambah dari proyek-proyek emiten yang sedang berjalan.
Erindra cenderung memilih saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) karena perusahaan ini memiliki eksposur yang lebih sedikit terhadap China dibandingkan perusahaan sejenis. Dia juga cenderung memilih PT Harum Energy Tbk (HRUM) karena memiliki valuasi termurah dan potensi keuntungan dari aset nikel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News