Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Bukan cuma investor publik yang akan mencermati kinerja PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Tata Power yang ikut menjadi pemegang saham dua anak usaha utama BUMI, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia, juga akan ikut memelototi kinerja BUMI.
Sebagai pengingat saja, Tata membeli 30% KPC dan Arutmin senilai US$ 1,3 miliar dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada Maret 2007. Untuk membiayai sebagian dana akuisisi itu, Tata berutang US$ 850 juta. Nah, mereka mengandalkan bagian dividen dari KPC dan Arutmin untuk membayar cicilan utang itu.
Cuma, angsuran utang terancam tersendat gara-gara harga batubara turun. Manajemen Tata kepada Bloomberg menyatakan, jika harga batubara di kisaran US$ 70-US$ 72 per ton, pembayaran utang itu masih bisa lancar.
Tapi, jika harga batubara US$ 60-US$ 65 per metrik ton dalam enam bulan mendatang, Tata akan kesulitan membayar utang. Sebab, porsi dividen KPC dan Arutmin yang mereka peroleh juga akan turun.
Masalahnya, kini harga batubara di Australia anjlok 14% jadi US$ 65,32 per metrik ton. Ini merupakan harga terendah sejak 15 Juni 2008.
Analis Finquest Securities Shruti Mehta menilai, situasi sulit benar-benar sedang menghadang Tata. Penurunan harga batubara itu akan memotong bagian dividen Tata dari KPC dan Arutmin.
Catatan saja, pada 2007, sebagai pemilik mayoritas, BUMI menyerahkan bagian dividen KPC dan Arutmin sebesar US$ 220 juta yang menjadi jatah Tata. Tapi, gara-gara harga batubara turun, jatah dividen Tata di 2008 mungkin akan turun. "Kami meramal, dividen yang diperoleh Tata turun jadi US$ 170 juta," tulis Analis JM Financial Institutional Securities Abhishek Puri dalam risetnya.
Padahal, Tata membutuhkan dana US$ 175 juta per tahun untuk mencicil utangnya. "Ini akan mempengaruhi kemampuan Tata membayar utang," ucap Mehta.
Senior Vice President Hubungan Investor BUMI Dileep Srivastava enggan berkomentar soal hal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News