Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pasar konstruksi untuk tahun ini bisa jadi bakal melambat. Sebab, perolehan kontrak baru emiten konstruksi pelat merah paruh waktu tahun ini mengalami penurunan, bahkan dalam jumlah yang cukup signifikan.
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) misalnya. Emiten BUMN ini membukukan kontrak baru Rp 6,7 triliun pada periode Januari-Juni 2014. Angka tersebut susut sekitar 25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 9 triliun.
PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) juga bernasib serupa. Hingga paruh waktu tahun ini, perolehan kontrak barunya Rp 3,5 triliun, turun 22% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 4,5 triliun.
Lalu, ada PT PP (persero) Tbk yang kontrak baru semester I-2014 -nya tercatat Rp 8,34 triliun. Angka ini susut 12% jika dibanding periode sebelumnya Rp 9,5 triliun.
Hanya PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) yang mampu mencetak pertumbuhan kontrak baru. Semester I-2014, kontrak baru WSKT sebesar Rp 7,08 triliun, naik sekitar 18% dibanding periode sebelumnya, sekitar Rp 6 triliun.
Jadi, secara keseluruhan, total kontrak baru yang diperoleh oleh keempat emiten pelat merah itu sebesar Rp 25,62 triliun. Jika dibandingkan dengan perolehan secara keseluruhan pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 29 triliun, maka perolehan kontrak baru paruh waktu tahun ini susut sekitar 12%.
Berdasarkan catatan KONTAN, selain memang karena memang tren perolehan kontrak baru konstruksi yang lebih lambat pada semester I, namun tekanan menjadi lebih besar lantaran tahun ini merupakan tahun politik.
Pada kesempatan sebelumnya, Natal Argawan, Corporate Secretary WIKA bilang, pemilu memang cukup membuat pasar konstruksi melambat. "Soalnya, momen-momen seperti ini membuat pelaku industri cenderung wait and see," imbuhnya.
Meskipun perolehan kontraknya menurun, Natal tetap yakin bahwa WIKA tetap akan mampu mencapai target. Ia menjelaskan bahwa strateginya antara lain dengan peralihan incaran dari proyek pemerintah menjadi proyek swasta. Lalu apabila ada proyek yang tak terlaksana tahun ini, WIKA akan melakukan carry over ke tahun depan.
Faktor pemilu dan bahan baku
Analis MNC Securities Reza Nugraha juga menenggarai faktor pemilu menjadi penyebab melambatnya industri properti. Banyak pelaku industri yang memilih untuk menunda proyeknya lantaran situasi politik yang belum begitu jelas arahnya.
Selain pemilu, tekanan juga datang dari kenaikan beberapa beban seperti tenaga kerja. Pada November 2013 lalu, Gubernur DKI Jakarta (Non-aktif), Joko Widodo, menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2014 menjadi Rp 2,44 juta. Jumlah ini naik 11% dibandingkan UMP 2013 Rp 2,2 juta.
Beban bahan baku yang harus dipikul emiten konstruksi juga kian berat lantaran nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melorot.
Namun, kini pasar sudah lebih rasional. Apalagi, KPU telah mengumumkan pemenang pilpres, yakni Jokowi-JK yang juga selama ini merupakan favorit pasar. Sehingga, secara makro hal ini bisa menjadi katalis positif, atau setidaknya dapat membuat perolehan kontrak baru menyamai perolehan tahun sebelumnya secara keseluruhan.
Michele Gabriela, Analis sektor konstruksi dari Sucorinvest Central Gani menggarisbawahi rencana Jokowi mereformasi infrastruktur jika terpilih menjadi Presiden. Faktor kedua yang mendorong saham konstruksi adalah undang-undang pembebasan lahan yang akan diterapkan pada tahun 2015.
"Dua faktor tersebut, ditambah dengan intensi pemerintah menggenjot sektor infrastruktur dan konstruksi, akan mendorong order book perusahaan-perusahaan konstruksi," kata dia, hari ini.
Terlebih, realisasi proyek dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) sejak 2011- kuartal I-2014 baru tercapai Rp 838,9 triliun atau 41% dari target Rp 2.000 triliun. Realisasi proyek infrastruktur dalam MP3EI masih mencapai Rp 397,7 triliun.
Karena itu, permintaan proyek pembangunan diyakini masih sangat besar. "Dengan makin banyak pilihan proyek, perusahaan konstruksi ini juga bisa memlih proyek-proyek yang lebih menguntungkan untuk mereka, sehingga margin mereka bisa lebih tinggi," kata Michele.
Stanley Liong, analis Indo Premier Securities dalam risetnya awal bulan ini juga melihat kehadiran Jokowi sebagai sentimen pulihnya sektor konstruksi, baik dari sisi pergerakan harga saham maupun makro industrinya.
Dalam catatan Stanley, selama ini, kekurangan infrastruktur yang merata menjadikan beban logistik membengkak sampai 27% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ongkos transportasi darat dan laut menjadi penyumbang utama pembengkakan ini.
Beberapa misi Jokowi antara lain membangun 2.000 km jalan, termasuk membetulkan yang rusak, meningkatkan jumlah dan variasi transportasi massal, hingga mengeksekusi Pendulum Nusantara, yang menghubungkan jalur laut dari Sumatera hingga Papua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News