Reporter: Kenia Intan | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang pergantian tahun, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tancap gas. Selama bulan Desember 2019, dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG sudah naik 5,28% ke level 6.329,31 hingga Jumat (27/12).
Hanya saja, kinerja IHSG yang menguat selama Desember 2019 ini tidak bisa menjadi cerminan perdagangan sepanjang tahun 2019. Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma mengamati pergerakan IHSG sepanjang tahun ini cenderung fluktuatif. "Bulan ini saja yang bagus ya," kata Suria ketika dihubungi Kontan.co.id.
Sesungguhnya, lanjut Suria, kinerja IHSG yang apik juga terjadi di bulan-bulan awal seperti Januari dan Februari 2019. Namun setelahnya, pasar saham terus menurun hingga November 2019. Baru memasuki bulan Desember, IHSG mulai rebround terbantu dengan window dressing.
Baca Juga: Periode pergantian tahun, bagaimana nasib IHSG pekan depan?
Sepanjang pengamatan Suria selama 10 tahun terkahir, pada akhir tahun IHSG selalu menguat. Rata-rata naik sekitar 3%.
IHSG yang fluktuatif di tahun ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Yang paling signifikan adalah perang dagang yang berkepanjangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Bahkan hal-hal yang selama ini dipandang kecil seperti tweet Presiden AS Donald Trump, bisa membuat pasar gerah.
Faktor lain yang membuat IHSG bergerak fluktuatif adalah earning per share (EPS) atau laba per lembar saham emiten di BEI yang kurang mengesankan.
" Ya sekitar 3% katakanlah," kata Suria lagi. Padahal, di awal tahun EPS diharapkan bisa mencapai 10%. EPS yang kurang mengesankan menjadi cerminan performa perusahaan-perusahaan yang tidak bisa menghasilkan pertumbuhan laba bersih yang tinggi.
Baca Juga: Stabilitas jasa keuangan diklaim terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi dunia
Rendahnya EPS membuat pergerakkan IHSG tidak ke mana-mana. Sehingga, IHSG yang pada mulanya diharapkan bisa menyentuh level 6.800 kemudian dikoreksi menjadi 6.500. Hingga akhirnya pasar musti puas dengan IHSG yang berada di level 6.300.
Kondisi EPS yang rendah dipengaruhi oleh banyak faktor. Suria menjelaskan, salah satu yang berpengaruh adalah penyaluran kredit. Berkaca pada data, penyaluran kredit paling besar adalah perdagangan, pertanian, dan industri pengolahan seperti manufaktur. Sayangnya, pada tahun ini ketiga sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lemah.
"Ini menunjukkan sebenarnya permintaan dari sektor utama kita itu tidak begitu kuat," katanya lagi. Permintaan yang lesu beriringan dengan kondisi ekonomi yang juga lesu.
Padahal, jika ekonomi kuat, permintaan akan besar dan perusahaan-perusahaan akan memerlukan lebih banyak pendanaan.
Baca Juga: Cetak rekor baru tahun ini, BEI targetkan bisa catatkan 3,25 juta investor pada 2020
Hal serupa juga diungkapkan oleh Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana. Menurutnya, perlambatan ekonomi terasa pada penurunan pendapatan emiten.
Kata Wawan, price earning ratio (PER) IHSG berada di kisaran18 kali hingga 19 kali. Rasio PER tersebut berada di atas rata-rata PER sebesar 15 kali.
"Dibandingkan dengan negara-negara berkembang, PER indeks saham Indonesia relatif tinggi," kata Wawan ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (27/12).
Sementara itu, Suria menilai, dibanding dengan indeks di luar negeri, IHSG berada di tengah-tengah, tidak terlalu mahal dan tidak begitu murah. Cuma, selisih antara IHSG dan indeks saham emerging market yang berada di bawah rata-rata biasanya menunjukan indeks saat ini cenderung tertinggal.
"Memang kita tahun ini agak ketinggalan dibandingkan tahun lalu, dibandingkan dengan negara lain," tambah Suria.
Tahun lalu, indeks memang mencatatkan minus 2,5%, namun IHSG mencatatkan indeks terkuat kedua setelah India. Berbeda dengan tahun ini, performa IHSG memang positif, akan tetapi kinerjanya tidak begitu mengesankan.
Baca Juga: Indeks saham agrikultur naik paling tinggi, saham CPO bangkit kembali
Kinerja emiten yang masih baik
Di tengah kinerja IHSG yang tidak impresif, Suria mengamati masih ada emiten-emiten yang mencatatkan kinerja fundamental yang cemerlang. Misalnya, emiten-emiten rokok di sektor consumer good, emiten bank besar di BUKU IV di sektor perbankan, dan emiten telekomunikasi.
Sayangnya, kinerja emiten yang apik tidak melulu menjadi penopang bagi pergerakan IHSG. Emiten rokok misalnya yang menjadi pemberat IHSG meskipun kinerjanya apik.
Asal tahu saja, berdasar data yang disampaikan oleh BEI Jumat (27/12). Saham Gudang Garam (GGRM) dan HM Sampoerna (HMSP) tercatat sebagai saham pemberat kinerja IHSG sejak awal tahun.
Berdasar data BEI, sejak awal tahun harga saham HMSP jatuh 42,6% dengan kapitalisai pasar kini mencapai Rp 248 triliun. Dengan koreksi harga yang dalam, ditambah kapitalisasi pasar yang tidak kecil, HMSP memberatkan pergerakan IHSG hingga 160,5 poin.
Sementara itu, GGRM menyumbang penurunan 51 poin ke IHSG. Adapun harga saham GGRM terkoreksi hingga 36,3% sejak awal tahun, dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 102 triliun.
Baca Juga: IHSG diprediksi menguat memasuki tahun baru pekan depan
Menilik kinerja keuangan kedua emiten tersebut sebenarnya masih terjaga. Per kuartal III 2019, HMSP mencatatkan pertumbuhan laba bersih 5,26% year on year (YoY) menjadi Rp 10,20 triliun. Sementara, pendapatan HMSP turun tipis 0,03% year on year (yoy) menjadi Rp 77,50 triliun.
Sedangkan GGRM mencatatkan pertumbuhan pendapatan 16,93% YoY menjadi Rp 81,72 triliun. Kenaikan diikuti oleh laba bersih yang tumbuh lebih tinggi 25,69% yoy menjadi Rp 7,24 triliun.
Tidak sejalannya kinerja fundamental emiten dengan pergerakan harga saham dipengaruhi oleh sentimen pasar. Dalam kasus industri rokok,sentimen yang memberatkan adalah kenaikan cukai rokok pada tahun depan. Hal ini dinilai akan menurunkan volume penjualan perusahaan-perusahaan rokok. Sebelumnya, harga emiten rokok juga sempat tertekan oleh rebelancing LQ45.
Koreksi yang dikontribusikan dari kedua emiten tersebut secara otomatis juga menjadi pemberat untuk indeks saham sektor consumer good atau sektor barang konsumsi. Data BEI menunjukkan, sejak awal tahun hingga Jumat (27/12), indeks saham sektor barang konsumsi mengalami koreksi paling besar yakni 19,45%.
Selain kedua emiten di atas, Suria mengamati saham sektor perbankan seperti Bank Mandiri (BMRI), Bank Negara Indonesia (BBNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) sempat menjadi pemberat IHSG walaupun kini sudah rebound.
Baca Juga: Turun 9,94% di tengah kenaikan harga saham bank, ini rekomendasi saham BBNI
Sementara untuk penopanganya, Suria melihat, IHSG banyak ditopang oleh Bank Central Asia (BBCA), Barito Pasific (BRPT), dan Pollux Properti Indonesia (POLL).
Tidak jauh berbeda, Wawan mengamati dari sembilan sektor utama IHSG, kinerja indeks sektor keuangan, infrastruktur, telekomunikasi, dan properti masih positif di tahun ini. Sementara lima indeks sektoral lainnya mengalami koreksi.
Penguatan pada beberapa sektor tadi didorong oleh sentimen suku bunga menurun yang berdampak positif untuk sektor keuangan dan properti. Sementara penguatan rupiah dan pertumbuhan pengguna data menjadi penggerak untuk sektor telekomunikasi.
Berdasar pengamatan Wawan, sektor perbankan dipimpin oleh BBCA dengan laporan keuangan yang sangat baik. Sementara pada sektor telekomunikasi, TLKM juga memiliki kinerja keuangan yang cemerlang. Sektor properti, Wijaya Karya (WIKA) tidak kalah apik kinerjanya sebab berkaitan dengan penyelesaian proyek-proyek pemerintah.
Baca Juga: Laju kenaikan Wall Street sedikit tertahan, setelah rally panjang jelang akhir tahun
"Untuk BBCA valuasi memang tidak pernah murah dan selalu menarik minat investor meski mahal karena dipandang menjadi salah satu emiten terbaik di IHSG. Untuk TLKM dan WIKA masih tergolong wajar," tambah Wawan lagi.
Saham emiten CPO bangkit?
Adapun tahun depan, efek penurunan suku bunga dipandang masih mampu mengerek IHSG. Dari global, IHSG akan dipengaruhi oleh pemilihan presiden Amerika Serikat.
Sementara dari dalam negeri, diharapkan pertumbuhan ekonomi membaik, inflasi juga diperkirakan rendah, dan pemerintah masih harus berjuang untuk menutup defisit dan meningkatkan arus investasi.
Melihat sentimen-sentimen yang ada, sektor perbankan dan telekomunikasi diperkirakan masih menarik untuk tahun depan.
Emiten crude palm oil (CPO) diperkirakan juga akan bangkit tahun depan sejalan dengan diberlakukananya program B30 untuk biodiesel.
"Kalau yang jelek tahun ini tetapi diperkirakan bagus tahun depan itu CPO ," jelas Suria.
Oleh karenanya, Suria melihat tahun depan akan menjadi tahun yang baik untuk London Sumatra (LSIP) dan Astra Agro Lestari (AALI).
Selain saham emiten CPO, saham emiten lain yang tidak kalah menarik adalah Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP), Indofood Sukses Makmur (INDF), BBNI, BMRI, BBCA, TLKM, dan TOWR.
Baca Juga: IHSG menguat lagi pada Jumat (27/12), sektor perkebunan melonjak 2,89%
Sementara untuk saham emiten rokok, Suria melihat ada kemungkinan untuk rebound pada tahun depan apabila volume tidak menurun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News