Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
Penjualan ekspor itu diakui membuat kinerja SIMP dan LSIP terdampak langsung oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Saat ini, kedua emiten itu tidak mempunyai kebijakan formal lindung nilai transaksi dalam mata uang asing.
“Namun, Grup mempunyai penjualan ekspor yang dapat memberikan lindung nilai alamiah yang terbatas terhadap dampak fluktuasi nilai tukar Rupiah dengan mata uang asing,” ungkap manajemen.
Direktur PT Rumah Para Pedagang, Kiswoyo Adi Joe melihat, kenaikan kinerja LSIP dan SIMP sudah sesuai ekspektasi lantaran harga CPO yang tengah tinggi.
Baca Juga: Kinerja Emiten Jasa Pendukung Bisnis Lesu di Semester I-2025, Begini Saran Analis
Khusus untuk SIMP, harga jual dan permintaan minyak goreng dari pasar domestik juga sedang baik, sehingga menopang kinerjanya.
Apalagi, segmen minyak goreng dan lemak nabati menyumbang paling besar ke pendapatan Salim Ivomas Pratama, yaitu Rp 6,96 triliun di semester I 2025.
Sementara, penurunan produksi TBS inti LSIP diakibatkan aksi perseroan yang tengah fokus melakukan replanting. Kenaikan TBS eksternal artinya produksi dari lahan plasma lebih banyak di periode kemarin.
“Mereka masih terus replanting karena pohonnya sudah mulai menua,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (8/8/2025).
Prospek Kinerja dan Rekomendasi Saham
Meskipun punya penjualan ekspor, tetapi kedua emiten tersebut kemungkinan tak akan terdampak Tarif Trump. Ini lantaran negara importir CPO besar yang biasa jadi langganan adalah China dan India.
Selama harga CPO masih di atas MYR 4.000 per ton, emiten-emiten sawit akan terus mengakumulasi keuntungan di semester II. Sebagai catatan, harga CPO global saat ini ada di level MYR 4.256 per ton, naik 2,33% dalam sebulan terakhir.
Baca Juga: Kinerja Emiten Distributor Alkes Moncer di Semester I, Simak Rekomendasi Sahamnya
Tapi, khusus untuk SIMP, penjualannya akan bergantung pada kebijakan pemerintah terkait batas harga minyak goreng. “Jika nominal harga terlalu diatur dan pasokan dari pemerintah banyak, SIMP mungkin babak belur,” kata Kiswoyo.
Di semester II, juga merupakan masa panen raya bagi para emiten sawit. Hal ini bisa memberikan dorongan positif ke kinerja LSIP dan SIMP. “Tapi, untuk LSIP, ini tetap tergantung dari proses replanting,” tuturnya.
Kiswoyo pun merekomendasikan beli untuk SIMP dan LSIP dengan target harga di Rp 800 per saham dan Rp 1.500 - Rp 1.600 per saham.
“Untuk SIMP, bisa dibeli di Rp 500 - Rp 550 per saham. Sementara untuk LSIP, bisa beli di bawah Rp 1.250 per saham,” tuturnya.