Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara yang terkoreksi masih menjadi penyebab utama turunnya kinerja emiten tambang batubara. Beberapa emiten pun mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bahkan ada yang sampai merugi.
Menanggapi kondisi ini, beberapa emiten telah menyiapkan strategi untuk menggenjot kinerja hingga penghujung 2019.
Baca Juga: Tertekan penurunan harga, kinerja emiten batubara melorot di kuartal III 2019
PT Bukit Asam Tbk (PTBA, anggota indeks Kompas100) misalnya, melakukan efisiensi biaya operasional guna meningkatkan kinerjanya. Beban pokok penjualan PTBA pada kuartal III 2019 naik 12,6% menjadi Rp 10,5 triliun. Komposisi dan kenaikan terbesar berasal dari biaya angkutan kereta api seiring dengan peningkatan volume batubara.
Untuk itu, PTBA telah bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk menyelesaikan pengembangan proyek angkutan batubara jalur Tanjung Enim- Kertapati dengan kapasitas 5 juta ton per tahun.
Selain itu, PTBA juga melakukan optimalisasi perencanaan penambangan dan merumuskan strategi penjualan yang memberikan profit margin yang lebih baik bagi perseroan. “Strategi tersebut adalah strategi yang masih dapat dikendalikan oleh manajemen PTBA,” kata Suherman, Sekretaris Perusahaan Bukit Asam.
Untuk diketahui, per kuartal III 2019 PTBA membukukan laba sebesar Rp 3,10 triliun atau turun 21,08% secara year-on-year (yoy). Sementara pendapatan PTBA naik tipis 1,36% menjadi Rp 16,25 triliun.
Di sisi lain, kinerja PT Bumi Resources Tbk juga terimbas pelemahan batubara. Pada kuartal III 2019, laba bersih BUMI tergerus 63% menjadi US$ 76,07 juta. Sementara itu, pendapatan BUMI menjadi US$ 751,85 juta atau turun 8,85%.
Baca Juga: Sarimelati Kencana (PZZA) yakin bisnis bakal tetap kencang sampai akhir tahun
Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava mengatakan, BUMI akan berfokus pada peningkatan volume, mengoptimalkan biaya (cost), memaksimalkan cash generation, dan fokus pada pembayaran utang.
“Kami pikir standar (benchmark) kualitas harga batubara akan meningkat pada 2020 di kisaran US$ 70 – US$ 80 per ton dari saat ini US$ 66 per ton. Jadi, ke depan dapat dilihat sebagai sinyal yang baik dan positif,” ujar Dileep kepada Kontan.co.id, Jumat (1/11).
Dileep melanjutkan, BUMI juga sedang mendiversifikasi pendapatannya lewat produksi logam (zink, emas, perak, dan timah) oleh PT Bumi Resources Mineral Tbk (BRMS) dimana BUMI memiliki 36% saham BRMS. Meski tidak menyebutkan angka pasti, namun Dileep yakin kinerja keuangan BUMI akan lebih baik dibandingkan realisasi tahun lalu.
Sementara itu, PT Indika Energy Tbk (INDY, anggota indeks Kompas100) akan berfokus pada stabilitas keuangan dan peningkatan produktivitas. Selain itu, INDY juga fokus mendiversifikasi pendapatannya salah satunya dengan menambah porsi kepemilikan 21,02% saham Nusantara Resources Limited yang merupakan induk dari Masmindo Dwi Area.
Untuk diketahui, Masmindo Dwi Area memegang konsesi pertambangan emas proyek Awak Mas di Sulawesi Selatan. “Kami tetap optimis dengan prospek dan fundamental industri batubara ke depan walaupun volatilitas harga batubara masih berlanjut,” Managing Director dan CEO Indika Energy, Azis Armand dalam rilis, (1/11).
Baca Juga: Laba Kresna Graha Investama (KREN) merosot di kuartal III 2019, kenapa?
Untuk diketahui, pada kuartal III 2019 pendapatan emiten anggota Kompas 100 ini turun 4,6% menjadi US$ 2,08 miliar. INDY juga harus mengalami kerugian sebesar US$ 8,6 juta. Padahal, pada kuartal III 2018, INDY masih menikmati laba bersih senilai US$ 112,20 juta.
Strategi juga dilakukan oleh emiten jasa kontraktor pertambangan, salah satunya PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID). Head of Investor Relations Delta Dunia Makmur Regina Korompis mengatakan, hingga akhir 2019 DOID menargetkan dapat membukukan pendapatan sebesar US$ 810 juta hingga US$ 910 juta.
Sementara untuk EBITDA. Regina bilang target yang disasar DOID adalah sebesar US$ 240 juta – US$ 280 juta. Untuk mencapai target ini, DOID akan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi sehingga berdampak pada keuntungan.
Sebagai contoh, DOID mengubah frekuensi pengiriman (shfit) dari tiga kali menjadi dua kali. DOID juga tengah berupaya untuk meningkatkan utilitas produksi untuk mencapai kinerja yang lebih baik lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News