Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Emiten telekomunikasi grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) kian terpuruk di sepanjang tahun 2014. Dari laporan keuangan yang dirilis perseroan akhir pekan lalu, rugi bersih BTEL naik 8,7% menjadi Rp 2,87 triliun, dari sebelumnya Rp 2,64 triliun.
Naiknya beban kerugian BTEL disebabkan oleh pendapatannya yang turun 13% menjadi Rp 1,8 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Dua lini bisnis BTEL kompak mengalami penurunan. Pendapatan jasa telekomunikasi turun 42,3% menjadi Rp 1,27 triliun, sementara pendapatan jasa interkoneksi turun 22% menjadi 184,2 miliar.
Di sisi lain beban pendapatan naik menjadi 3% menjadi Rp 2,13 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Alhasil BTEL menanggung rugi usaha Rp 947,55 miliar. Di tahun sebelumnya perseroan masih mencatatkan laba usaha Rp 3,6 miliar.
Tahun lalu, BTEL telah mencatat keuntungan dari kerja sama penggabungan kegiatan usaha dengan PT Smartfren Tbk (FREN) sebesar Rp 590 miliar. Namun, beban keuangan perseroan membengkak menjadi Rp 861,3 miliar dari sebelumnya Rp 738,4 miliar. Sementara rugi selisih kurs turun menjadi Rp 518,9 miliar dari sebelumnya Rp 1,88 triliun.
Total aset perseroan di sepanjang tahun 2014 Rp 7,59 triliun, turun dari sebelumnya Rp 9,13 triliun. Lalu Total liabilitas BTEL Rp 11,46 triliun naik dari sebelumnya Rp 10,13 triliun. BTEL mencatat defisiensi modal hingga Rp 3,78 triliun, naik dari sebelumnya Rp 1 triliun.
Manajemen mengklaim, adanya defisiensi modal disebabkan kerugian penurunan nilai aset, penghapusan uang muka dan pengembangan proyek, selisih kurs, serta beban keuangan dan kerugian usaha dari tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, total liabilitas perseroan telah melebihi total asetnya. Lebih lanjut, BTEL memiliki utang wesel senior senilai US$ 380 juta yang telah wanprestasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, perseroan akan melakukan beberapa langkah. Pertama, mengikuti ketentuan dalam perjanjian perdamaian penyelesaian utang perusahaan yang disahkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
BTEL kini dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di PN Jakarta Pusat atas permohonan dari salah satu krediturnya, PT Netwave Multimedia.
Kedua, BTEL akan melanjutkan kerja sama dengan para pemasok dan operator telekomunikasi lain dalam rangka mengoptimalkan operasi. Ketiga, menerapkan kebijakan pengendalian biaya. Keempat, merestrukturisasi utang wesel senior.
BTEL memiliki total tagihan utang senilai Rp 11,3 triliun. Utang tersebut dikelompokkan menjadi utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO) senilai Rp 1,26 triliun, utang usaha Rp 2,4 triliun, utang tower provider Rp 1,3 triliun, dan utang dana hasil wesel senior Rp 5,4 triliun.
Kemudian, BTEL juga memiliki utang afiliasi senilai Rp 73,7 miliar, utang akibat derivatif Rp 185,3 miliar, utang dengan jaminan Rp 625,4 miliar, serta pembiayaan kendaraan Rp 2,6 miliar.
Dalam kesepakatan perdamaian dengan para kreditur, BTEL akan mulai melakukan pembayaran utang 18 bulan setelah pengesahan homologasi. Kemudian, sebanyak 70% dari total utang akan dibayar dengan Mandatory Convertible Bond - A (MCB-A) yang nantinya bisa dikonversikan menjadi saham baru BTEL pada harga Rp 200 per saham.
MCB-A memiliki jangka waktu 10 tahun. Sementara waktu penukarannya bisa dilakukan 3 bulan setelah rapat umum pemegang saham (RUPS). Saham baru ini setara 50% dari saham perusahaan. Sedangkan 30% sisanya akan dilakukan pembayaran secara bertahap.
Utang wesel senior BTEL sebenarnya masuk dalam restrukturisasi PKPU. Namun, sejumlah pemegang wesel senior mengajukan gugatan percepatan pembayaran bunga dan pokok wesel senior di pengadilan New York.
Untuk itu, BTEL akan mengajukan permohonan pengakuan atas hasil PKPU di PN Jakarta Pusat. Hingga saat ini, proses tersebut masih berlangsung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News