kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kenapa ICBP gencar bikin perusahaan dan akuisisi?


Jumat, 29 November 2013 / 10:12 WIB
Kenapa ICBP gencar bikin perusahaan dan akuisisi?
ILUSTRASI. Angka positivity rate mingguan Covid-19 di Indonesia melewati standar WHO. KONTAN/Carolus Agus Waluyo.


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Tahun ini merupakan tahun berbelanja bagi Grup Salim. Coba tengok saja, salah satu afiliasinya, yakni PT Indofood CBP Tbk (ICBP) yang beberapa kali melakukan aksi korporasi sepanjang tahun ini.

Pada Mei 2013, ICBP meneken pembentukan perusahaan patungan (joint venture) dengan Tsukishima Food Industry Co Ltd untuk membentuk PT Indofood Tsukishima Sukses Makmur di Indonesia. ICBP menjadi pemegang saham pengendali, menguasai 65% saham perusahaan pembuat margarin ini.

Lalu, pada September 2013, ICBP juga menyelesaikan transaksi atas seluruh saham PT Pepsi-Cola Indobeverages. Transaksi yang dilakukan dengan klien ICBP, Asahi, menelan biaya sekitar US$ 30 juta.

Masih pada bulan yang sama, ICBP juga mendirikan perusahaan bernama PT Indofood Mitra Bahari Makmur (IMBM). Perusahaan yang 99% sahamnya dimiliki oleh ICBP ini bergerak di industri pengolahan makanan berbahan baku ikan.

Oktober lalu ICBP juga mengakuisisi usaha Grup Tirta Bahagia yang bergerak pada industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan merek dagang ‘Club’ senilai Rp2,2 triliun. Tentunya, manajemen memiliki alasan tersendiri mengapa ICBP menjadi sangat rajin 'shopping'.

Terakhir, ICBP membentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan perusahaan Jepang, JS Comsa Corporation. Perusahaan itu memproduksi makanan olahan tepung seperti adonan pizza beku dan sebagainya.

"Itu karena kami ingin menyeimbangkan portofolio kami, 50:50 antara pendapatan dari mie instan dan produk lain," ujar Weriyanti Setiawan, Direktur ICBP.

Memang, mie instan buatan ICBP sudah dikenal masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Jadi, jika digambarkan dalam sebuah kurva produksi, maka mie instan buatan ICBP sudah berada dalam fase tertinggi, yaitu fase ketiga atau fase dewasa.

Pada fase itu, produk yang dijual sudah tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh pesat. Jika sudah berada dalam fase ketiga, pilihannya tinggal dua, yaitu produk yang bersangkutan bakal turun karena dilupakan masyarakat, atau tetap dijaga ritmenya dengan inovasi dan pengiklanan sehingga konsumen tidak melupakan produk itu.

Untuk hal ini, manajemen memilih opsi yang kedua. Caranya, tentu dengan pengiklanan dan inovasi. Oleh sebab itu, saat ini merk Indomie yang ditemukan di warung kelontong atau mini market sekalipun rasanya bukan lagi hanya rasa ayam bawang, melainkan banyak terdapat citarasa kuliner nusantara, bahkan oriental. Bahkan, ada juga inovasi yang dilakukan dengan membuat mie yang lebih kenyal dan keriting.

Ketika sudah berada dalam fase ketiga dan sebelum inovasi itu dilakukan, penjualan mie instan ICBP tidak bisa bergerak banyak, hanya tumbuh sekitar 2% per tahun. Tapi, semenjak inovasi itu dibuat, mie instan ICBP bisa tumbuh sekitar 6%. “Tidak terlalu pesat, tapi paling tidak masih lebih baik," tambah Weriyanti.

Oleh karena itu, dengan semua aksi korporasi yang dilakukan, manajemen berharap penyeimbangan portofolio pendapatannya bisa segera terealisasi dalam waktu yang terlalu lama. Catatan saja. Hingga kuartal III tahun ini ICBP membukukan pendapatan Rp 18,88 triliun.

Dari angka itu, sebesar 68% berasal dari penjualan mie instan. Sementara sisanya diperoleh dari penjualan divisi dairy, makanan ringan, penyedap makanan serta nutrisi dan makanan khusus yang masing-masing memberikan kontribusi sekitar 19%, 7%, 4% dan 2%.

Sebenarnya, Weriyanti juga mengakui, aksi korporasinya yang dilakukan belakangan ini agak terlambat. Tapi, mau bagaimana lagi. Aksi korporasi itu harus memang harus melewati proses yang panjang meski manajemen telah menyiapkan cetak biru semua aksi korporasinya itu sejak 2010 silam.

"Tapi, yang jelas kami belum ketinggalan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat untuk 30 tahun mendatang," pungkas Weriyanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×