Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah dunia diperkirakan akan tetap volatil dan dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara pertumbuhan ekonomi global, kebijakan produksi OPEC+, dan perkembangan di sektor energi, meski harga minyak mentah dalam tren naik sepekan terakhir.
Pengamat komoditas dan Founder Tradeindo, Wahyu Tribowo Laksono mengamati, tren kenaikan saat ini merupakan kombinasi dari respons pasar sesaat terhadap berita sanksi baru yang ditetapkan oleh Amerika Serikat. Fokusnya pada sektor minyak Iran dan kilang minyak yang berbasis di China.
Pada Kamis (17/4) Organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia (OPEC+) telah menerima rencana terbaru Iran dan Kazakhstan untuk melakukan pemotongan produksi tambahan.
Baca Juga: Harga Minyak Catat Kenaikan Mingguan, Ditopang Harapan Kesepakatan Dagang
Alhasil, harga minyak mentah WTI melambung yang disebabkan oleh meningkatnya tensi kekhawatiran akan berkurangnya pasokan dalam jangka pendek.
Mengutip Bloomberg, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2025 di New York Mercantile Exchange ada di level US$ 64,68 per barel pada Kamis (17/4), naik 3,53% dari sehari sebelumnya yang ada di level US$ 62,47 per barel. Dalam sepekan, harga minyak naik 5,17% dari akhir pekan sebelumnya yang ada di US$ 61,50 per barel.
Meskipun begitu, Wahyu menilai, harga minyak WTI masih berpotensi mengalami kenaikan berkelanjutan. Tergantung dari sejauh mana efektivitas sanksi AS dalam mengurangi ekspor minyak Iran, respons produsen lainnya dan permintaan secara global.
"Tapi sepertinya permintaan yang tinggi masih sulit terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini," jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Jumat (18/4).
Artinya, prospek pertumbuhan ekonomi global juga memainkan peran penting. Jika pertumbuhan ekonomi melambat, maka kekhawatiran pasokan bisa diimbangi oleh penurunan permintaan.
"Selain itu, cermati juga perkembangan negosiasi perdagangan tarif dan perkembangan teknologi energi terbarukan, meskipun sifatnya jangka panjang dan dampaknya belum signifikan untuk saat ini," ujar Wahyu.
Sementara itu, Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong menyoroti, penerapan sanksi AS terhadap ekspor minyak Iran justru tampak tidak terlalu signifikan mempengaruhi relasi bisnis antara China dan Iran, yang pada gilirannya memicu kekhawatiran pasokan global.
Menurut Lukman, China tampak tak gentar oleh apapun serangan AS, sekalipun adanya pemberlakuan sanksi ini, tidak akan menghalangi China untuk membeli minyak dari Iran.
Baca Juga: Harga Minyak Naik 2% Sentuh Level Tertinggi dalam 2 Pekan Dipicu Sanksi Baru ke Iran
"Jadi, kalau menurut saya, justru perlambatan ekonomi global lah yang tetap lebih dominan kontribusinya dalam menekan permintaan," jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Jumat (18/4).
Dalam analisisnya, Lukman memproyeksikan rentang kemungkinan harga minyak WTI jika ketidakpastian ekonomi global semakin meningkat di kisaran US$ 60 per barel.
Menurutnya, dalam jangka pendek, ada dua sentimen yang perlu dicermati yaitu isu sanksi Iran dan potensi kesepakatan negosiasi tarif antara AS dan China.
"Jadi pekan ini bisa rebound jika semuanya tetap konsisten," jelas Lukman.
Lukman memproyeksi, harga minyak akan bergerak pada kisaran US$ 62 per barel hingga US$ 66 per barel, dan dalam jangka menengah hingga akhir tahun nanti kemungkinan akan berada di area lower consolidation di kisaran US$ 40 per barel hingga US$ 70 per barel.
Selanjutnya: Kemacetan Tanjung Priok Parah, MTI: Jangan Hanya Andalkan Jalan Raya
Menarik Dibaca: Terbaru, BRImo Tersedia Dalam Dua Bahasa, Indonesia dan Inggris
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News