kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Kebijakan SBY dianggap tak serius oleh pasar


Jumat, 23 Agustus 2013 / 18:04 WIB
Kebijakan SBY dianggap tak serius oleh pasar
ILUSTRASI. Produk makanan dari PT Garudafood Putra Putri Jaya. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Usai rapat kabinet terbatas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menepati janjinya untuk umumkan empat paket kebijakan stabilitas ekonomi. Kebijakan tersebut disampaikan langsung oleh Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian di Istana Negara, Jumat siang (23/8).

Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia menganggap kebijakan  yang disampaikan Besan SBY tersebut dianggap terlalu umum dan normatif.

"Pasar merespon negatif, buktinya penutupan IHSG turun. Mungkin pasar anggap gregetnya kurang," ujar Satrio kepada KONTAN, Jumat (23/8). Dia bilang kebijakan tadi merupakan sambungan dari pidato SBY yang terakhir.

Satrio juga mengkritik bahwa pemerintah terkesan tidak serius dengan pengumuman kebijakan tersebut karena perihal tersebut disampaikan lewat para menteri bukan dari Presiden SBY langsung. "Padahal pasar butuhnya solusi jangka pendek. Entah dibuat task force atau lainnya," jelasnya.

Sebagai informasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi kedua hari ini ditutup di angka 4.169,83 atau turun 1,59 poin. Padahal pada sesi pertama IHSG sempat menguat 59,43 poin di angka 4.230,85.

Pendapat serupa juga datang dari Dimas Adrianto, Analis Asjaya Indosurya Securities. Dia bilang paket kebijakan yang telah diumumkan oleh pemerintah tidak dapat dapat memberi dampak dalam jangka pendek.

Dimas memaparkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat, konsekuensinya defisit neraca perdagangan tinggi. Dia bilang konsumsi BBM yang tinggi tidak dapat diganti dengan cepat dengan menggunakan biofuel atau perlu dilakukan perubahaan secara mendasar.

Dimas juga menilai, soal kebijakan ekspor tidak terlalu mendorong signifikan karena perekonomian global yang menurun.

"Di lain pihak Indonesia yang sedang dalam tahap pembangunan, seperti infrastruktur, tentu masih membutuhkan perangkat dan bahan baku impor yang besar," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×