kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kasus Evergrande dinilai tidak berdampak banyak pada permintaan batubara dan CPO


Kamis, 23 September 2021 / 07:25 WIB
Kasus Evergrande dinilai tidak berdampak banyak pada permintaan batubara dan CPO


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan pengembang real estate China, Evergrande Group terlilit utang. Evergrande diberitakan memiliki total kewajiban senilai US$ 305 miliar kepada berbagai kreditur, pemasok, dan investor.

Evergrande harus membayar bunga sebesar US$ 83,5 juta pada 23 September untuk obligasi yang jatuh tempo pada Maret 2022. Evergrande juga harus membayar bunga US$ 47,5 juta pada 29 September untuk surat utang yang jatuh tempo Maret 2024. Obligasi akan gagal bayar apabila Evergrande tidak mampu membayar bunga dalam waktu 30 hari.

Meski demikian, dampak gagal bayar Evergrande sepertinya tidak akan seperti kasus Lehman brothers pada tahun 2008. Analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menyebut, perbandingan utang Lehman Brothers pada saat itu mencapai US$ 613 miliar, dibandingkan dengan utang Evergrande sekitar US$ 300 miliar. Ditambah lagi, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut China diyakini mempunyai cara untuk mencegah krisis utang yang terjadi nantinya.

“Terbaru, Evergrande sepertinya akan membayar kupon obligasi dalam negeri yang jatuh tempo pada 23 September 2021 mendatang,” terang Sukarno kepada Kontan.co.id, Rabu (22/9).

Baca Juga: Evergrande dibelit krisis, apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia?

Asal tahu, China merupakan salah satu konsumen terbesar batubara dari Indonesia. Batubara ini digunakan untuk keperluan pembangkit listrik hingga industri baja dan logam. Selain batubara, Indonesia juga getol mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke negeri Panda ini.

Sukarno menilai, permintaan CPO dan batubara dari China bisa saja berdampak karena kasus ini. Akan tetapi, dirinya meyakini dampaknya tidak akan terlalu signifikan selama kasus Covid-19  di China tidak kembali muncul dan diikuti oleh masifnya program vaksinasi China serta global. “Dengan kondisi tersebut, permintaan batubara ataupun CPO masih akan tetap berpeluang membaik khususnya di tahun ini,” kata dia.

Sejumlah emiten batubara mengamini hal ini. Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mengatakan, kemungkinan kasus Evergrande tersebut tidak benar-benar mempengaruhi Indonesia saat ini. Dia berharap, kasus tersebut dapat direstrukturisasi oleh pihak berwenang.

Baca Juga: Harga Gas Alam Meroket di Seluruh Dunia, Sejumlah Sektor Industri Kalang Kabut

“Faktor lain yang mungkin relevan untuk dicermati adalah kebijakan tapering The Fed dan dampaknya terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia,” terang Dileep, Rabu (22/9).  Adapun pasar China merupakan salah satu pangsa pasar bagi BUMI. Dileep menyebut, di tahun periode normal, persentase penjualan batubara BUMI yang diekspor ke China sekitar 20%.

Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (INDY) Ricky Fernando mengatakan, Evergrande merupakan salah satu perusahaan properti terbesar di China. Karenanya, kasus ini mungkin dapat berpengaruh terhadap industri baja yang membutuhkan sumber energi yang besar.

Namun, saat ini permintaan batubara dari China masih solid. “Kuota impor naik 10% dari tahun lalu,” kata Ricky. Untuk menangkap peluang ini, INDY mengoptimalkan produksi untuk mencapai target yang telah ditetapkan yaitu, sebanyak 35,7 juta ton oleh PT Kideco Jaya Agung dan 1,6 juta ton oleh Multi Tambangjaya Utama.

Baca Juga: Sejumlah bursa Asia menghijau terbawa sentimen pembayaran utang Evergrande

Permintaan dari China masih solid

Dalam risetnya, Senin (13/9), analis Ciptadana Sekuritas Thomas Radityo menyebut, prospek permintaan batubara dari China masih menjanjikan, salah satunya berasal dari sektor pembangkit listrik. Permintaan dari segmen ini masih cukup tinggi meskipun diadang sentimen inisiatif zero (netral) karbon.

Thomas memperkirakan permintaan tenaga listrik yang berasal dari batubara akan tetap tangguh setelah banjir mengganggu produksi pembangkit listrik tenaga air di China.

Terlepas dari upaya China untuk menetralkan emisi karbon, pembangkit listrik tenaga batubara masih menyumbang 72% dari total output pembangkit listrik di negeri Tirai Bambu tersebut. Lebih lanjut, China diberitakan memiliki rencana untuk membangun 43 pembangkit listrik tenaga batubara baru dan 18 tanur baru hingga tahun 2030.

Alhasil,  Thomas meyakini harga batubara akan tetap stabil hingga akhir tahun 2021 atau setidaknya hingga akhir persediaan musim dingin. Namun, harga batubara akan mulai sedikit terkonsolidasi dan menjadi normal mulai tahun 2022 dan seterusnya karena negara-negara produsen batubara akan mulai meningkatkan produksi.

Baca Juga: Menakar prospek saham-saham emiten BUMN di tengah pemulihan ekonomi

Di sektor ini, Ciptadana Sekuritas menjadikan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan target harga Rp 1.750 per saham dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan target harga Rp 2.650 per saham sebagai pilihan utama (top picks). Pilihan ini mengingat harga saham ADRO dan PTBA masih terkoreksi cukup signifikan sejak awal tahun. Di sisi lain, kedua emiten ini punya umur cadangan tambang yang cukup, portofolio yang beragam, sistem penambangan terintegrasi, dan hasil dividen yang menarik.

Sementara Sukarno merekomendasikan buy atau trading buy untuk saham-saham batubara dan CPO. Dari Kiwoom Sekuritas sendiri merekomendasikan ADRO dengan target harga Rp 1.640 per saham, PTBA dengan target harga Rp 2.870 per saham, PT Petrosea Tbk (PTRO) dengan target harga Rp 2.980 per saham, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dengan target harga Rp 17.400 per saham yang sudah menyentuh target. Secara teknikal, ITMG masih punya peluang melanjutkan penguatan ke target Rp 18.500 per saham.

Sementara untuk sektor CPO, ada saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga Rp 9.325 dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 1.255 per saham.

 Baca Juga: Tanggapi Tekanan Global, China Janji Menyetop Pendanaan untuk Pembangkit Batubara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×