Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) bakal didukung oleh kehadiran produk-produk baru khususnya dari segmen farmasi. Biaya input yang lebih rendah turut berpotensi memoles laba bersih di tahun 2024.
Analis Ciptadana Sekuritas Asia, Putu Chantika, mengungkapkan, hasil indikatif KLBF di tahun 2023 sejalan dengan ekspektasi. Penjualan kuartal IV-2023 diperkirakan mencapai Rp 7,9 triliun yang menjadikan penjualan kumulatif KLBF sebesar Rp30,4 triliun yang meningkat 5,2% secara tahunan atau year on year (yoy).
Sementara laba bersih kuartal IV-2023 turun 21.6%yoy menjadi Rp703 miliar, sehingga laba bersih tahunan mencapai Rp 2,7 triliun yang turun 18,2%yoy.
Baca Juga: IHSG Tergelincir di Awal Pekan, Cermati 10 Saham Net Sell Terbesar Asing
Margin kotor merosot menjadi 36,8% pada kuartal IV-2023, terutama disebabkan oleh bauran produk dan biaya bahan baku yang lebih tinggi, sebagian lagi diimbangi oleh peningkatan harga jual atau Average Selling Price (ASP).
Putu melihat, tingkat penjualan pada Januari 2024 telah menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan tingkat penjualan pada kuartal ketiga 2023. Dan lintasan pertumbuhan positif ini diperkirakan akan terus berlanjut.
KLBF telah menerapkan strategi multivendor seperti pendirian pusat pengadaan di Tiongkok untuk meminimalkan risiko rantai pasokan. Sehingga, hari persediaan bisa jadi diturunkan menjadi 110-115 hari dalam 1-2 tahun ke depan dibandingkan 130 hari di tahun 2023.
Seperti diketahui, tantangan pada tahun lalu adalah pergeseran alokasi belanja untuk kegiatan rekreasi, ditambah dengan base effect yang tinggi dari Covid. Pasalnya, tahun lalu perusahaan masih mengandalkan impor bahan baku.
Adapun KLBF telah memandu pertumbuhan pendapatan 6-7% YoY di tahun 2024, didorong oleh peluncuran produk baru 1,5%-2%, peningkatan ASP sekitar 1%, dan pertumbuhan volume sekitar 3,5% - 4,5%.
Baca Juga: Asing Net Buy Rp 1,43 Triliun Saat IHSG Turun, Ini 10 Saham yang Banyak Diborong
Selain itu, KLBF memperkirakan pertumbuhan Earning Per Share (EPS) sekitar 15%YoY dengan asumsi peningkatan Gross Profit Margin (GPM) diantaranya karena tren bahan baku stabil, peningkatan harga jual atau mengelola rasio operational expenditure (opex).
Menurut Putu, segmen farmasi bakal menjadi pendorong pertumbuhan pendapatan (topline). Segmen resep farmasi diperkirakan akan tumbuh sebesar 8%-9% yoy pada tahun 2024, sejalan dengan produk-produk baru diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp100 – Rp200 miliar.
Selain itu, potensi biologis dan onkologi menjadi lahan pertumbuhan baru bagi KLBF dalam jangka panjang. Segmen tersebut berkontribusi Rp400 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan meningkat dua kali lipat menjadi Rp800 miliar pada 2024, didukung oleh KLBF berencana untuk mengkomersialkan HLX-10 (Zerpidio – anti-PD1) dan GX-EF (Efesa) di seluruh Asia Tenggara, setelah disetujui di Indonesia pada kuartal IV-2023.
Manajemen KLBF mengungkapkan bahwa akan menerbitkan 15 hingga 20 produk baru, termasuk 7 alat kesehatan terbaru dan beberapa obat-obatan generik yang menjadi andalan program BPJS di tahun 2024.
Putu turut melihat, KLBF memperluas portofolio produk di bidang kesehatan konsumen dan nutrisi. Mengingat semakin banyaknya acara olahraga, KLBF memanfaatkan momentum untuk meluncurkan produk baru, EJ Sports Gel, yang telah diterima dengan baik di pasar dan catatkan penjualan sebesar 26% YoY di tahun 2023.
Selain itu, kontribusi produk terjangkau seperti Chil-Go telah berkinerja baik, menghasilkan pertumbuhan penjualan yang lebih tinggi sebesar 25% YoY pada tahun 2023. Hasilnya, perusahaan terus memperluas portofolio produk terjangkaunya, dengan produk Ready To Drink (RTD) susu steril, Entrasol, akan diluncurkan pada tahun ini untuk melayani konsumen dengan harga lebih tinggi.
Baca Juga: Langkah Kalbe Farma (KLBF) Incar Pertumbuhan Laba Dobel Digit pada 2024
“KLBF memperluas portofolio produk di bidang kesehatan konsumen dan nutrisi,” ujar Putu kepada Kontan.co.id, Selasa (27/2).
Analis Indo Premier Sekuritas Lukito Supriadi mengatakan, KLBF membidik pertumbuhan penjualan sekitar 6%-7% yoy dengan pertumbuhan laba bersih 13-15% yoy di tahun 2024. Dari segi segmen, farmasi diperkirakan tetap menjadi pertumbuhan mesin dengan target 8-9%yoy didorong oleh bahan biologis dengan penjualan biosimiliar diperkirakan meningkat dua kali lipat dan obat generik tanpa merek dengan target pertumbuhan pada usia remaja.
Selain itu, peralatan medis diperkirakan berkontribusi 5% dari penjualan yang diperkirakan tumbuh 13-15% yoy dengan memanfaatkan kandungan lokal, sekaligus kesehatan konsumen dan gizi diharapkan tumbuh sebesar 5-6% yoy.
“Singkatnya, target pertumbuhan laba bersih KLBF dari peningkatan margin laba kotor berkat input berbiaya lebih rendah dan sedikit perubahan pada bauran produk,” kata Lukito dalam riset 21 Februari 2024.
Analis Mirae Asset Sekuritas Andreas Saragih menambahkan, transformasi sistem pengadaan e-katalog BPJS dan implementasi BPJS Kesehatan Omnibus Law diperkirakan akan berdampak positif bagi KLBF, khususnya bagi pendapatan. Hal ini diyakini akan menghasilkan unit penyimpanan stok (SKU) yang lebih tinggi, peningkatan volume penjualan, dan harga jual rata-rata (ASP) yang lebih tinggi untuk produk-produk tidak bermerek.
Baca Juga: KLBF Mengincar Laba Tumbuh Dua Digit
“Kebijakan yang mendukung akan mendorong pertumbuhan volume penjualan KLBF,” ujar Andreas dalam riset 12 Januari 2024.
Di samping itu, Andreas melihat, pemulihan margin KLBF karena normalisasi harga bahan baku dan perputaran yang lebih tinggi (high turnover). Mirae Asset Sekuritas memproyeksikan peningkatan margin dalam waktu dekat, didukung oleh normalisasi harga bahan baku, khususnya susu skim bubuk dan Bahan Farmasi Aktif (API), dan pengurangan hari persediaan yang dipandu 130 hari.
Andreas merekomendasikan Trading Buy untuk KLBF dengan target harga sebesar Rp1,760 per saham. Sementara Lukito menyarankan Hold untuk KLBF dengan target harga Rp 1,620 per saham.
Kalau Putu mempertahankan rekomendasi Beli untuk KLBF dengan target harga sebesar Rp1.700 per saham. Risiko negatif yang perlu diperhatikan meliputi kenaikan biaya bahan baku dan pelemahan rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News