Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
"Jadi kelihatannya ke depan harga minyak belum tentu akan rally naik, karena sentimen perang dagang AS dan China yang belum juga pasti," jelas Deddy saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (25/11).
Di sisi lain, pada pertemuan 5-6 Desember 2019, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berencana untuk memperpanjang produksi minyak mereka hingga Juni 2020. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga harga tidak merosot ke bawah US$ 55 per barel.
Baca Juga: Arab Saudi batal libatkan bank-bank Wall Street dalam IPO Aramco
Sementara itu, Deddy menilai saat ini harga minyak masih berada di kisaran US$ 58 per barel, yang mana kemungkinan untuk menuju level US$ 60 per barel akan sulit dicapai hingga akhir tahun ini.
"Selama harga masih bergerak konsolidasi di kisaran US$ 55 per barel hingga US$ 58 per barel, maka belum cukup stabil untuk mendorong harga naik ke depan," ungkapnya.
Baca Juga: Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 diprediksi turun 4,9%-5,1%, ini penyebabnya
Untuk itu, Deddy cenderung merekomendasikan pelaku pasar untuk wait and see selama ketidakpastian masih mendominasi pergerakan pasar minyak.
Walaupun diakui secara teknikal harga berpotensi untuk menguat, investor tetap perlu mewaspadai perkembangan pasokan produksi minyak di Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menekan harga ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News