Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kembali naiknya harga minyak di awal pekan ini, dinilai hanya bersifat sementara. Apalagi, pekan lalu harga minyak sempat tersungkur cukup dalam dan semakin menjauhkannya dari level psikologis US$ 60 per barel.
Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Senin (25/11) pukul 16:45 WIB, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Januari 2020 di New York Mercantile Exchange (Nymex) tercatat menguat 0,45% ke level US$ 58,03 per barel. Akhir pekan lalu (22/11), harga minyak berada di level US$ 57,77 per barel.
Baca Juga: Harga saham Palma Serasih (PSGO) melesat 69,52% pada perdagangan perdana
Analis PT Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, sentimen penggerak harga minyak lagi-lagi datang dari perkembangan sentimen perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.
Menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump di acara Fox News yang menyebutkan bahwa dirinya berharap bisa menandatangani kesepakatan dagang segera.
Baca Juga: Refinancing Utang, BRPT Merilis Obligasi Senilai Rp 750 Miliar
Deddy menilai, pernyataan Trump tersebut mendapat respon positif dari pasar. Meskipun diakui bahwa apa yang disampaikan orang nomor satu di Negeri Paman Sam tersebut masih memiliki banyak tanda tanya, khususnya terkait rencananya untuk menaikkan tarif impor.
Ditambah lagi, belum ada detail yang jelas, kapan dan dimana kesepakatan dagang AS dan China akan ditandatangani. Begitu juga dengan isi kesepakatan dagang nantinya, apakah tarif impor di 15 Desember nanti akan ditarik atau tidak.
"Jadi kelihatannya ke depan harga minyak belum tentu akan rally naik, karena sentimen perang dagang AS dan China yang belum juga pasti," jelas Deddy saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (25/11).
Di sisi lain, pada pertemuan 5-6 Desember 2019, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berencana untuk memperpanjang produksi minyak mereka hingga Juni 2020. Hal ini sebagai upaya untuk menjaga harga tidak merosot ke bawah US$ 55 per barel.
Baca Juga: Arab Saudi batal libatkan bank-bank Wall Street dalam IPO Aramco
Sementara itu, Deddy menilai saat ini harga minyak masih berada di kisaran US$ 58 per barel, yang mana kemungkinan untuk menuju level US$ 60 per barel akan sulit dicapai hingga akhir tahun ini.
"Selama harga masih bergerak konsolidasi di kisaran US$ 55 per barel hingga US$ 58 per barel, maka belum cukup stabil untuk mendorong harga naik ke depan," ungkapnya.
Baca Juga: Pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 diprediksi turun 4,9%-5,1%, ini penyebabnya
Untuk itu, Deddy cenderung merekomendasikan pelaku pasar untuk wait and see selama ketidakpastian masih mendominasi pergerakan pasar minyak.
Walaupun diakui secara teknikal harga berpotensi untuk menguat, investor tetap perlu mewaspadai perkembangan pasokan produksi minyak di Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menekan harga ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News