Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Rasio harga saham terhadap laba atau Price to Earnings Ratio (PER) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di peringkat tertinggi ketiga bursa Asia. Kendati PER sudah tinggi, namun IHSG masih mampu mencatkan rekor pada penutupan perdagangan awal pekan kedua bulan ini.
Pada penutupan Senin (9/2), IHSG kembali mencatatkan rekor dengan kenaikan 0,11% menjadi 5.348,47 dan investor asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp 372,44 miliar. Sementara PER IHSG sudah mencapai 23,75 kali.
PER IHSG ini merupakan tertinggi ketiga di bursa Asia setelah bursa Shenzhen sebesar 36,16 kali dan Indeks Bursa Korea (KOSPI) 30,73 kali. Adapun di posisi keempat dipegang oleh Nikkei sebesar 20,09 kali dan selanjutnya diikuti oleh S&P/ASX 200 dengan PER 20,09 kali.
Edwin Sebayang, Kepala riset MNC Securitas mengatakan, kenaikan IHSG terjadi lantaran pasar mengantisipasi laporan keuangan beberapa emiten tahun 2014 yang belum keluar. “Saat ini masih ada power dari laporan keuangan. Kalau sudah keluar semua nantinya baru pasar melakukan aksi profit taking,” kata Edwin pada KONTAN, Senin (9/2).
Menurut Edwin prospek ISHG masih cukup bagus meskipun harganya sudah tergolong mahal. Edwin bilang,tidak menjadi masalah jika PER IHSG tinggi sepanjang bursa Indonesia masih mampu mencetak laba yang bagus. “PER tinggi oke, tapi harus mampu cetak laba,” ujarnya.
Kepala riset Mandiri Sekuritas John Rachmat menilai rekor yang dicatat IHSG kemarin bukan cerminan fundamental bursa saham. Menurutnya, kenaikan tertinggi ini hanya bagian dari respon terlambat investor asing terhadap kebijakan positif yang dilakukan pemerintah tiga bulan yang lalu. Sementara bursa saham sedang berada di titik rapuh.
John mengatakan, saat ini ada tiga faktor yang sedang membayangi pergerakan IHSG. Jika salah satu faktor meledak maka dana asing akan keluar besar-besaran. Faktor pertama, dari sisi politik terjadi pergerakan dari kondisi positif ke negatif dengan adannya perseteruan polri vs KPK.
John bilang, dampak perseteruan ini memang masih kecil namun jika pemerintah tidak mau melakukan intervensi maka tidak mungkin semua petinggi KPK akan tersandung sehingga efek psikologisnya akan sangat besar terhadap investor asing. “Kalau ini dibiarkan berlarut dan petinggi KPK tinggal satu maka akan banyak investor yang lari.” Ujarnya.
Faktor kedua, lanjut John, adanya intervensi pemerintah terhadap emiten-emiten dengan memunculkan beberapa kebijakan yang tidak bersahabat terhadap pasar. Mulai dari kebijakan penurunan harga semen, menghimbau perbankan menurunkan kredit karena dinilai terlampau ekspansif, menghimbau menurunkan harga bahan pokok dengan ancaman menetapakan batas harga jika tidak segera diturunkan serta memberi sinyal menambah subsidi energi.
Padahal sebelumnya, pasar sangat menyambut kebijakan Presiden Jokowi dengan kenaikan BBM sehingga mengurangi subsidi yang diharapakan mampu memperbaiki ekonomi Indonesia ke depan. “Sekarang kebijaknya malah berbalik arah dan tidak pro pasar,” jelas John.
Dan faktor ketiga, tekanan rupiah dan rencana kenaikan suku bunga The Fed. Rupiah ada resiko semakin melemah dan suku bunga The Fed kemungkinan bisa naik semester pertama 2015 lantaran ekonomi AS terus bagus.”Faktor politik merupakan efek psikologisnys paling besar tapi efek langsung terhadap emiten datang dari intepensi pemerintah,” lanjut John.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News