Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah emiten penghuni indeks Kompas100 bertumbuha do tahun lalu. Beberapa emiten anggota indeks Kompas100 yang mampu mencetak pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang signifikan.
Sektor perbankan menjadi yang paling dominan. Ambil contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang meraih laba bersih Rp 31,4 triliun atau naik 15,8% secara year on year (YoY) di 2021. Lalu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) meraih laba bersih Rp 32,22 triliun atau naik 75,53%. Kemudian, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) yang laba bersihnya meroket 232,2% menjadi Rp 10,89 triliun pada 2021.
Di sektor industri, ada PT Astra International Tbk (ASII) yang meraih laba bersih Rp 20,19 triliun atau terdongkrak 25% secara YoY. Lonjakan laba bersih ASII tak lepas dari pendapatan yang meningkat 33% menjadi Rp 233,48 triliun.
Di sektor pertambangan, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) mencetak kenaikan pendapatan 75,18% dan laba bersih meroket 1.104,9% menjadi US$ 475,57 juta di 2021. Emiten batubara lainnya, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) mencetak kenaikan pendapatan 58%, dan kenaikan laba inti 210% menjadi US$ 1,24 miliar.
Baca Juga: IHSG Berpeluang Naik Lagi, Simak Pilihan Saham untuk Senin (7/3)
Di segmen tambang nikel, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) membukukan kenaikan laba bersih 112,5% menjadi US$ 167,20 juta. Sedangkan penurunan laba terjadi pada emiten tambang emas PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang laba bersihnya turun tipis 0,16% menjadi US$ 36,13 juta, meski pendapatan usahanya naik 18,36% secara YoY.
Penurunan kinerja juga terjadi pada PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Pendapatan SMGR turun tipis 0,62% pada 2021 sedangkan laba bersihnya merosot 27,33% secara YoY. Sementara itu, penjualan UNVR turun 8% dan laba bersihnya melorot 19,7% di 2021.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan, secara umum, sektor perbankan memang membukukan kinerja yang positif sepanjang tahun lalu. Tumbuh signifikan seiring dengan pemulihan ekonomi di Indonesia.
Sedangkan, kenaikan kinerja emiten sektor tambang dan perkebunan, terjadi sejalan dengan tingginya harga komoditas dunia. Namun, ada sejumlah sektor yang dinilai masih belum pulih atau underperform. Misalnya saja sektor konstruksi, semen dan konsumer.
Pandhu menyebut, faktor anggaran infrastruktur yang minim karena pemerintah masih fokus ke pemulihan ekonomi dan kesehatan, menjadi sentimen negatif bagi konstruksi. Hal ini berimbas ke sektor semen karena banyak proyek tertunda, ditambah dengan naiknya harga batubara yang mendongkrak biaya produksi.
"Untuk sektor konsumer selain daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan harga komoditas menjadi penambah biaya bahan baku sehingga profit margin tergerus. Hal ini menjadi penyebab sektor consumer tidak begitu dilirik," kata Pandhu saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (6/3).
Pandhu menambahkan, return dari indeks prestisius seperti LQ45 dan Kompas100 pada tahun 2021 berada di bawah pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Saat IHSG tumbuh 10,08%, indeks LQ45 mencetak return -0,37% dan indeks Kompas100 -3,42%.
Menurut Pandhu, hal ini terjadi karena saham-saham yang menjadi primadona pada tahun lalu cenderung di luar kedua indeks tersebut. Terutama dari sektor teknologi. Proyeksi pertumbuhan dari emiten new economy ini menjadi faktor utama pilihan investasi dibanding saham old economy yang rata-rata masih belum pulih akibat pandemi.
Kemudian pada tahun ini, sejumlah saham teknologi dan new economy masuk ke dalam indeks Kompas100 seperti ARTO, EMTK, BUKA, MTDL, dan ZYRX. "Kompas100 juga melakukan rebalancing, memasukkan saham yang diperkirakan masih prospektif dan likuid untuk menjaga performa supaya tidak jauh tertinggal dengan IHSG," terang Pandhu.
Baca Juga: Simak Sentimen yang Menopang Penguatan IHSG Dalam Sepekan Terakhir
Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana menambahkan, pada tahun 2021 lalu, indeks Kompas100 dibuka pada level 1.211,95 dan ditutup pada posisi 1.165,55. Kata dia, penurunan sebanyak 3,82% pada tahun lalu itu terjadi karena dampak pandemi covid-19 yang masih berlangsung.
Pemulihan ekonomi yang masih terjadi menyebabkan sejumlah sektor mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan, seperti pada sektor consumer goods. Adapun untuk tahun ini, Raditya melihat indeks Kompas100 berpeluang mengalami kenaikan.
"Secara teknikal indeks Kompas100 apabila mampu break level 1.235 yang menjadi area resistance-nya saat ini, kami proyeksikan akan mengalami penguatan ke level 1.400-an," ungkap Raditya.
Sektor Prospektif di 2022
Raditya menyebutkan, indeks Kompas100 dapat menjadi opsi bagi pelaku pasar dalam menentukan saham-saham pilihannya. Di samping via indeks prestisius lainnya seperti LQ45, IDX 30 atau IDX 80.
Adapun, perbankan dan energi menjadi sektor paling potensial yang dapat melanjutkan penguatan. Dari kedua sektor ini, Raditya merekomendasikan BBTN dengan target harga Rp 2.000, BJBR di Rp 1.515, ELSA pada target harga Rp 450, MEDC di Rp 800 dan ANTM dengan target harga Rp 2.670.
Baca Juga: Melongok Proyeksi IHSG dari Sejumlah Analis, Senin (7/3)
Senada dengan itu, Technical Analyst Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova menilai, indeks Kompas100 sangat relevan menjadi acuan pelaku pasar untuk memilih saham sebagai instrumen investasi maupun trading. Tentu, dengan tetap mencermati saham yang dipilih dan menyadari bahwa tren naik tidak akan selamanya berlangsung.
"Sehingga pelaku pasar pun perlu mencermati kemungkinan terjadinya rotasi sektoral, dan bisa mulai beralih pada sektor yang mengindikasikan akhir downtrend secara bertahap sebagai langkah pengaturan kembali portfolio investasinya," ujar Ivan.
Setidaknya untuk periode semester pertama 2022, Ivan memandang, emiten-emiten di sektor energi masih menarik untuk dicermati pelaku pasar. Selain sektor batubara yang harganya terdongkrak konflik Rusia-Ukraina, investor juga bisa memperhatikan emiten yang bergelut di komoditas emas.
Ivan pun menjagokan saham MEDC dengan target Rp 730, MDKA di tagret harga Rp 4.700, dan INDY dengan target terdekat pada level Rp 3.250.
Sementara itu, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyampaikan, dengan ekspektasi recovery ekonomi pasca pandemi, maka sektor perbankan menjadi proxy utama. Kemudian, emiten batubara bisa dipertimbangkan dalam jangka pendek dengan mencermati volatilitas harga.
Wawan merekomendasikan saham BBCA dengan target harga Rp 8.400 dan ADRO di level Rp 3.200. Selain itu, menarik untuk mencermati ICBP yang harganya tertekan karena kenaikan harga bahan baku seperti gandum. Namun, Wawan menyarankan agar dilakukan secara long term, dengan target harga kembali ke Rp 8.700 dalam satu tahun.
Wawan juga menyampaikan, pemilihan konstituen di LQ45 dan Kompas100 memiliki metodologi yang serupa. Yakni berdasarkan likuiditas banyaknya transaksi dalam 6 bulan terakhir.
Dengan begitu, meski saham yang prospektif umumnya akan diburu investor sehingga liquid, tapi bisa jadi saham yang sedang kurang diminati dan banyak dilepas juga ikut masuk. Di sisi lain, bisa juga ada saham yang berfundamental bagus, tetapi tidak menjadi perhatian investor, belum masuk ke jajaran indeks.
"Indeks Kompas100 bisa menjadi acuan untuk likuiditas saham tetapi untuk pemilihan saham tetap melihat fundamental dan prospek bisnis," ungkap Wawan.
Sedangkan, Pandhu menyebut, indeks Kompas100 dapat menjadi salah satu pedoman investor, lantaran pada umumnya memiliki risiko yang lebih baik dari rata-rata. Pemilihan konstituen dari sisi likuiditas dan fundamental bisa mengurangi risiko investor terjebak di saham yang tidak likuid.
"Untuk jangka panjang lebih aman karena didukung dengan kinerja fundamental yang kuat, dimana harga saham adalah cerminan kinerja fundamental perusahaan dalam jangka panjang," tandas Pandhu.
Pada tahun 2022 ini, Pandhu turut menjagokan saham-saham di sektor perbankan seperti BBRI yang berpotensi menguat hingga Rp 5.600 dan BMRI di level Rp 9.000. Sektor komoditas juga dinilai menarik, meski harus dicermati risiko penurunan harga komoditas yang cukup tinggi.
Sedangkan sektor lain seperti properti, konstruksi dan konsumer, Pandhu menyarankan untuk wait and see. "Perlu dilihat bagaimana perkembangan kinerja pada kuartal pertama ini," imbuh Pandhu.
Baca Juga: Proyeksi Optimistis, IHSG Diprediksi Bisa Capai 7.400 Hingga Akhir Tahun Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News