kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ingat, meski PER rendah, valuasi saham belum tentu murah


Senin, 22 Juni 2020 / 21:10 WIB
Ingat, meski PER rendah, valuasi saham belum tentu murah
ILUSTRASI. Karyawan melintas di bawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (20/5/2020). IHSG ditutup melemah 2,7 poin atau 0,06 persen di level 4.545,95. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merosot 21,92% secara year to date (ytd) membuat price earning ratio (PER) saham-saham di dalamnya terlihat rendah. Akan tetapi, PER tersebut belum tentu mencerminkan valuasi saham yang benar-benar murah.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Budi Frensidy, valuasi saham saat ini terlihat murah karena belum memperhitungkan proyeksi earning per share (EPS) tahun ini. Sebaliknya, PER aktual saat ini menggunakan trailing PER dari laporan keuangan 2019 atau triwulan I-2020 yang disetahunkan. Perlu diingat, kinerja keuangan pada laporan keuangan tersebut masih belum terdampak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sebagaimana diketahui, PSBB yang diterapkan mulai April 2020 berpotensi mengganggu kinerja para emiten pada tahun ini. Budi memperkirakan, EPS 2020 sebagian besar sektor emiten bakal turun 20%-40% dibanding tahun lalu.

Baca Juga: IHSG Potensi Loyo, Ini PER-PBV Saham yang Layak Dicermati

"Ini akan membuat PER aktual naik 25% hingga 67%, yaitu 1/80% hingga 1/60% yang membuat saham-saham tersebut relatif tidak bisa dikatakan murah," tutur Budi sebagaimana dikutip dari Harian Kontan edisi Senin, 22 Juni 2020.

Kepala Riset Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy turut mengamini hal tersebut. Tak jauh berbeda, ia memprediksi, EPS mayoritas emiten pada tahun ini akan lebih rendah 15%-30% dari tahun lalu. "Jadi, valuasi saham saat ini tidak bisa dibilang murah," ucap Robertus saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (22/6).

Bahkan, Kepala Riset FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo menilai, valuasi saham-saham saat ini sudah tergolong cukup tinggi. Ia juga mempertimbangkan adanya penurunan kinerja akibat pandemi Covid-19, khususnya sepanjang kuartal II-2020.

Sebagai contoh, dalam laporan tanggal 8 Juni 2020, Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma memprediksi, EPS PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pada 2020 hanya sebesar Rp 981 atau turun 15,36% dibanding EPS 2019 yang sebesar Rp 1.159. Mengingat, permintaan restrukturisasi kredit yang menimpa sektor perbankan berpotensi menurunkan pendapatan bunga.

Tak jauh berbeda, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Lee Young Jun dalam riset tanggal 22 Juni 2020 juga memperkirakan, EPS BBCA pada tahun ini hanya mencapai Rp 979 atau turun 15,53% dibanding EPS 2019. Alhasil, Samuel Sekuritas dan Mirae Asset Sekuritas memproyeksi, PER BBCA pada akhir 2020 dapat naik ke 29,2x dan 28,5x. Asal tahun saja, PER BBCA per perdagangan Senin (22/6) adalah sebesar 25,94x.

Analis Kresna Sekuritas Etta Rusdiana Putra juga mengatakan, pihaknya merevisi nilai wajar enam emiten yang menjadi pilihan utama Kresna Sekuritas, yaitu PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk (INTP), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR). 

Baca Juga: IHSG Menguat, Ini PER - PBV Saham yang Direkomendasikan Trading Buy

Menurut Etta, harga saham CPIN kini berada di zona overvalue, BBRI dan BMRI berada di harga wajarnya, serta ruang JSMR semakin terbatas. Adapun saham yang masih memberikan potensi yang signifikan adalah INTP dan TLKM.

Oleh karena itu, Kresna Sekuritas lebih fokus untuk mulai mengurangi eksposure pada saham yang telah memasuki area nilai wajarnya, terutama untuk pelaku pasar yang memiliki horizon pendek (di bawah satu tahun). "Kami melihat kemungkinan kenaikan pada periode Juli-Agustus menjadi lebih terbatas karena kemungkinan pasar akan lebih fokus pada kinerja aktual," ungkap Etta.

Menurut dia, appetite pelaku pasar dapat bergeser pada saham lapis kedua pada periode tersebut. Meskipun begitu, tekanan jual yang terjadi dapat menjadi peluang untuk mengakumulasi saham-saham blue chip, terutama bagi investor yang memiliki horizon investasi jangka panjang di atas dua tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×