Reporter: Danielisa Putriadita, Rahma Anjaeni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin memanas mempengaruhi indeks Inter Dealer Market Association (IDMA) yang cenderung bergerak turun dalam dua pekan terakhir.
Mengutip Bloomberg, Jumat (6/12), indeks IDMA berada di level 101,68. Dalam dua pekan, indeks yang menggambarkan harga obligasi ini turun 0,23% dari level 101,91.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan, sentimen utama yang menyebabkan indeks IDMA turun adalah perang dagang AS dan China yang semakin memanas.
Baca Juga: Permintaan dolar AS meningkat, rupiah diprediksi melemah pekan depan
Kabar terbaru, China akan menghapus tarif impor babi dan kedelai bagi importir dari AS. Meski, keputusan tersebut memberi sinyal positf atas kelanjutan perang dagang AS dan China, persoalan perang dagang tak lepas dari tarik ulur keputusan yang dibut Presiden AS, Donald Trump.
Hingga kini, Trump belum memastikan perkembangan perundingan dagang kedua negara tersebut. Pelaku pasar pun masih was-was menanti keputusan penerapan tarif impor dari AS untuk China di 15 Desember mendatang.
“Memang ada isu di pasar global, terutama perang dagang itu memanas, Amerika sama Tiongkok ini memanas lagi. Otomatis pasar kita terdampak,” ujar Ramdhan, Jumat (6/12).
Analis Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Lili Indarli juga mengatakan ketidakpastian perang dagang antara AS dan China menjadi faktor dominan yang menggerakkan pasar sejak pekan kedua di bulan lalu hingga saat ini.
"Konsen pasar mulai tertuju pada simpang siur terkait penghapusan tarif tambahan dan tuduhan Trump terhadap China yang melakukan praktirk curang dalam perdagangan global," kata Lili.
Baca Juga: Perang dagang dengan AS masih panas, cadangan devisa China amblas Rp 126 triliun
Ketidakpastian akan keberlanjutan kesepakatan dagang semakin meningkat setelah Donald Trump mengesahkan UU HAM dan dukungan terhadap demokrasi Hong Kong. Selain itu pasar juga dibayangi ancaman perang dagang baru yakni antara AS dengan Eropa, Brasil maupun Argentina.
Meski, harga obligasi cenderung menurun, Ramdhan menilai penurunan ini masih dalam batas wajar. Apalagi, sebelumnya harga obligasi naik signfikan sejak Juni.
Di satu sisi, Ramdhan mengamati sentimen dari dalam negeri relatif stabil dan bisa mendukung penguatan pasar obligasi yang datang dari ketertarikan asing. Apalagi jelang akhir tahun para pelaku pasar akan menata ulang portofolionya di pasar obligasi.
Jika kestabilan ekonomi dalam negeri bisa terus dijaga, Ramdhan memproyeksikan yield surat utang negara (SUN) di akhri tahun ini berada di level 7%-7,1%. Sementara, di tahun depan, yield berpotensi turun ke 6,7%-6,8%.
Baca Juga: Terbitkan MTN Jangka Panjang, Dua Perusahaan Ini Beri Kupon Tinggi
Namun, Ramdhan mengatakan proyeksi tersebut bisa berubah di tengah perkembangan sentimen eksternal yang sulit pasar prediksi kemana arahya.
Apalagi, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah, yaitu membuat cadangan devisa tumbuh. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga November 2019 posisi cadangan devisa Indoneisa masih berkutat di US$ 126,6 miliar dollar AS. Angka tersebut tidak banyak berubah dari posisi di akhir Oktober yang sebesar US$ 126,7 miliar.
Lili memproyeksikan pergerakan pasar obligasi di pekan depan masih akan terbatas. Lagi-lagi fakor ketidakpastian AS dan China masih menjadi faktor dominan yang menggerakan pasar.
Baca Juga: Perkuat pendanaan, tiga bank ini siap terbitkan obligasi di tahun 2020
Namun, potensi pasar obligasi menguat tetap ada yang didukung dengan aksi trading pelaku pasar. "Menguatnya spekulasi pembatalan kenaikan tarif impor tambahan produk China oleh AS di 15 Desember mendtaang dapat menjadi amunisi penguatan harga obligasi," kata Lili.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News