Reporter: RR Putri Werdiningsih, Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga minyak kembali menemukan momentum kenaikan setelah organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC) membuka peluang memperpanjang pemangkasan produksi hingga akhir tahun ini. Data kenaikan produksi minyak Amerika Serikat (AS), sementara, diabaikan oleh pasar.
Jumat (31/3) lalu, harga minyak WTI kontrak pengiriman Mei 2017 di New York Mercantile Exchange menguat 0,5% ke US$ 50,6 per barel dibanding sehari sebelumnya. Sepekan terakhir, harga minyak melompat hingga 5,5%.
Wahyu Tribowo Laksono, analis Central Capital Futures, mencermati, sentimen penggerak harga minyak semakin positif. Pelaku pasar melihat ada penghentian pasokan minyak secara tiba-tiba dari Libia. Produksi minyak Libia berkurang sekitar 250.000 barel per hari akibat gangguan masalah keamanan.
Padahal, beberapa minggu lalu, pejabat Libia menyatakan akan meningkatkan produksi minyak di atas satu juta barel per hari hingga akhir musim panas. Tetapi produksi justru turun menjadi sekitar 500.000 barel per hari. Ini tingkat produksi terendah dalam hampir tujuh bulan.
Peguatan harga minyak semakin solid lantaran ada wacana OPEC memperpanjang pemangkasan produksi hingga semester kedua tahun ini. Rencana OPEC mendapat dukungan dari Kuwait. "Sentimen utama masih dari OPEC. Minyak mencapai level tertinggi dalam tiga pekan setelah pejabat Kuwait menyatakan dukungan pada rencana perpanjangan pembatasan produksi," kata Wahyu.
Deddy Yusuf Siregar, analis Asia Tradepoint Futures, melihat, sejauh ini, keputusan OPEC masih berpengaruh besar untuk menopang kenaikan harga. Apalagi, di bulan April ini, organisasi negara-negara penghasil minyak mentah dunia itu juga akan menggelar pertemuan resmi untuk membahas rencana perpanjangan pemangkasan produksi hingga akhir 2017.
Hampir semua negara OPEC setuju perpanjangan pemangkasan produksi. Terakhir, Kuwait menyatakan akan sepakat kalau perpanjang dilanjutkan hingga akhir tahun, terang Deddy.
Tetapi, Wahyu mengingatkan, harga minyak mulai rentan terkoreksi lantaran sudah menguat cukup tinggi. Pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri China Xi Jinping pekan ini, yang akan menentukan hubungan dagang kedua negara, juga berpotensi mempengaruhi harga minyak.
Produksi minyak AS
Peningkatan produksi minyak mentah di Amerika Serikat (AS) sepertinya mulai tak berpengaruh pada pergerakan harga minyak WTI. Meski Negeri Paman Sam merilis adanya penambahan operasi rig aktif, harga komoditas energi ini tetap menguat.
Akhir pekan lalu, harga minyak sempat terkoreksi jelang rilis data Baker Hughes mengenai penambahan jumlah rig aktif di AS. Baker Hughes melaporkan, pada pekan yang berakhir pada 24 Maret, terjadi penambahan 10 rig yang beroperasi menjadi 662. Padahal pada periode yang sama tahun lalu. jumlah rig yang beroperasi hanya sekitar 362.
Tapi hal tersebut tak menekan harga minyak lantaran pelaku pasar cukup yakin meningkatnya produksi minyak AS diimbangi dengan peningkatan ekspor. Per 17 Februari lalu, ekspor minyak mentah AS tercatat mencapai 1,21 juta barel per hari.
Secara teknikal, harga minyak WTI masih mengindikasikan pelemahan, lantaran bergulir di bawah garis moving average (MA) 50 dan MA 100 . Tetapi untuk jangka panjang, harga berpotensi menguat karena posisinya sudah berada di atas MA 200. Relative strength index (RSI) berada di level 51, yang menunjukkan potensi penguatan.
Tapi peluang harga terkoreksi tampak dari indikator moving average convergence divergence (MACD) yang berada di area negatif. Sedangkan stochastic oversold level 96.
Deddy memprediksi hari ini (3/4) harga minyak WTI terkoreksi dan bergerak antara US$ 49,80-US$ 49 per barel. Tapi dalam sepekan, harga kembali naik dan bergerak di kisaran US$ 50,96-US$ 52,38 per barel. Wahyu memprediksi harga minyak awal pekan ini akan menguat, bergerak antara US$ 48,6-US$ 51,65 dan di kisaran US$ 47-US$ 53 per barel sepekan ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News