Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak dunia mencatat perubahan tipis pada perdagangan Selasa (20/5) akibat ketidakpastian geopolitik global dan sinyal melemahnya permintaan dari China sebagai importir minyak mentah terbesar di dunia.
Harga minyak mentah Brent turun sebesar 16 sen atau 0,2% menjadi US$ 65,38 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 13 sen atau 0,2% ke level US$ 62,56 per barel.
Pasar masih mencermati perkembangan perundingan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran terkait kesepakatan nuklir.
Baca Juga: Harga Minyak Turun Tipis pada Jumat (13/12) Pagi, Pasar Menimbang Prediksi Surplus
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan bahwa tuntutan AS agar Iran menghentikan pengayaan uranium terlalu berlebihan. Hal ini memunculkan keraguan atas keberhasilan negosiasi.
Jika sanksi terhadap Iran dilonggarkan, ekspor minyak negara tersebut diperkirakan dapat meningkat sebesar 300.000 hingga 400.000 barel per hari, menurut analis dari StoneX, Alex Hodes.
Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) setelah Arab Saudi dan Irak pada 2024.
Di Eropa, Uni Eropa dan Inggris menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia tanpa menunggu tindakan dari Amerika Serikat.
Langkah ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, namun gagal mendapatkan komitmen untuk gencatan senjata di Ukraina.
Baca Juga: Harga Minyak Turun Tipis pada Selasa (10/12) Pagi Setelah Melonjak di Awal Pekan
Sementara itu, Ukraina mendesak negara-negara anggota G7 agar menurunkan batas harga minyak laut Rusia dari US$ 60 menjadi US$ 30 per barel sebagai respons terhadap invasi Rusia.
Namun, penyelesaian konflik dalam waktu dekat dinilai tidak mungkin terjadi. Menurut Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas di SEB, konflik yang berlarut dapat menunda peningkatan ekspor minyak Rusia meski negara tersebut masih terikat dengan kesepakatan OPEC+.
Rusia sendiri merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat pada 2024, berdasarkan data federal AS.
Dari sisi permintaan, data terbaru dari China menunjukkan perlambatan pada sektor produksi industri dan penjualan ritel.
Hal ini menambah kekhawatiran terhadap prospek permintaan energi global. Meski begitu, Goldman Sachs mencatat adanya peningkatan arus perdagangan China menyusul jeda tarif selama 90 hari antara AS dan Tiongkok.
Baca Juga: Harga Minyak Terkoreksi Tipis Jelang Pertemuan OPEC+
Di Eropa, Menteri Keuangan Jerman Lars Klingbeil menjanjikan langkah-langkah percepatan investasi untuk menopang perekonomian terbesar di kawasan tersebut di tengah ketidakpastian global.
Pasar juga menanti arah kebijakan moneter Bank Sentral AS (Federal Reserve), di mana sedikitnya tujuh pejabat Fed dijadwalkan memberikan pernyataan publik pada hari yang sama.
Berdasarkan data dari LSEG, para pelaku pasar memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali pada 2025, dengan pemotongan pertama diprediksi terjadi pada bulan September.
Penurunan suku bunga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi melalui penurunan biaya pinjaman konsumen.
Baca Juga: Harga Minyak Turun Terdampak Pengaruh Geopolitik Timur Tengah dan Ukraina
Dari sisi pasokan, data persediaan minyak AS juga menjadi fokus. American Petroleum Institute (API) dan Badan Informasi Energi AS (EIA) akan merilis laporan mingguan masing-masing pada Selasa dan Rabu.
Para analis memperkirakan terjadi penarikan sekitar 1,2 juta barel minyak dari cadangan AS selama pekan yang berakhir pada 16 Mei. Jika prediksi ini akurat, maka akan menjadi penurunan ketiga dalam empat pekan terakhir.
Selanjutnya: Cristiano Ronaldo vs Lionel Messi: Siapa yang Lebih Kaya di Tahun 2025?
Menarik Dibaca: Kumpulan Gift Code Ojol The Game 21 Mei 2025 yang Baru dari Codexplore
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News