Sumber: Reuters | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak merangkak turun dari kenaikan sepekan lalu. Senin (23/4) pukul 7.29 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni 2018 di New York Mercantile Exchange turun tipis 0,26% ke level US$ 68,22 per barel ketimbang akhir pekan lalu pada US$ 68,40 per barel.
Harga minyak brent pun terkoreksi di awal pekan ini. Jumat (20/4) pekan lalu, harga minyak brent untuk pengiriman Juni 2018 di ICE Futures mencapai level tertinggi sejak Mei 2015 di US$ 74,06 per barel.
Pagi ini, harga minyak brent turun 0,19% ke US$ 73,92 per barel. Meski terkoreksi, harga minyak masih bergerak di level tertinggi.
Harga minyak pekan lalu terus bergerak menguat di tengah panasnya tensi Suriah. Di sisi lain, Baker Hughes melaporkan, ada penambahan lima rig di tambang minyak Amerika Serikat (AS) sepekan lalu.
Total rig yang beroperasi hingga pekan lalu mencapai 820, tertinggi sejak Maret 2015. Lebih dari separuh total rig yang beroperasi ini berada di Permian, sebelah barat Texas dan timur New Mexico.
Pemerintah AS memperkirakan, produksi minyak di Permian akan naik ke rekor tertinggi hampir 3,2 jua barel per hari, atau sekitar 30% dari total produksi minyak AS.
Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump pertama kali menyinggung OPEC dalam akun Twitternya. "OPEC melakukannya lagi. Dengan rekor jumlah minyak di seluruh dunia, termasuk kapal-kapal di laut, harga minyak tinggi secara artifisial. Tidak bagus dan tidak dapat diterima!" kicau Trump.
Sebelumnya, eksportir minyak Arab Saudi berharap harga minyak akan bergerak lebih tinggi dan OPEC belum memutuskan akan menghentikan pemangkasan produksi. Menanggapi komentar Trump, beberapa anggota OPEC mengatakan bahwa harga tidak naik secara artifisial.
Delegasi pengawas OPEC/non OPEC di Jeddah mengatakan, harga minyak naik karena kenaikan tensi politik, sanksi Venezuela, ancaman kesepakatan nuklir Iran, serangan Suriah, dan permasalahan Korea Utara.
"Kami tidak memiliki target harga di OPEC dan juga tidak dalam rencana bersama non OPEC ini," kata Mohammad Barkindo, Sekretaris Jenderal OPEC menanggapi komentar Trump.
Barkindo mengatakan, kesepakatan pemangkasan dilakukan untuk menahan kejatuhan harga minyak global dan memulihkan stabilitas bagi produsen, konsumen dan ekonomi global.
"Trump mencoba mengukur harga bensin ritel, jadi dia menyalahkan OPEC untuk hal ini," kata Josh Graves, senior market strategist RJO Futures kepada Reuters.
Harga minyak yang makin tinggi mengerek harga bensin di AS hingga US$ 2,75 per galon. Angka ini naik lebih dari US$ 0,30 ketimbang tahun lalu, dan merupakan harga bensin tertinggi sejak Juli 2015.
"Jika ada kekhawatiran menerapkan sanksi pada minyak Iran akan mengerek harga, maka dia bisa mengambil langkah awal dengan menyalahkan OPEC atas kenaikan harga," kata Antoine Halff, senior research scholar Center on Global Energy Policy Columbia University.
Pemerintah AS tidak bisa mempengaruhi harga minyak selain dengan melepas minyak dari cadangan strategis yang kadang-kadang dilakukan. Anggaran pemerintah AS tahun ini termasuk penjualan sekitar 100 juta barel minyak mentah atau sekitar 15% dari cadangan.
Pelepasan cadangan ini tidak terkait dengan tingginya harga. Analis mengatakan, pemerintah AS tidak khawatir akan kelangkaan global. Apalagi tingkat produksi AS mencapai rekor tertinggi pada 10 juta barel per hari.
"Pemerintah tidak akan menjual cadangan strategis untuk menyeimbangkan anggaran jika mereka berpikir bahwa akan ada kelangkaan," kata Kevin Book, managing director Clearview Energy Partners.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News