Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas energi, termasuk minyak mentah, semakin memanas. Kondisi itu mendorong harga saham berbasis komoditas di Bursa Efek Indonesia. Namun, kenaikan tersebut tidak berefek signifikan bagi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Sejak awal tahun, indeks pertambangan di BEI sudah menguat 22,88%. Ini adalah pertumbuhan terkuat dibandingkan indeks sektoral lainnya di bursa saham lokal. Di periode yang sama, IHSG hanya bergerak stagnan.
Harga minyak mentah WTI untuk kontrak pengiriman Mei 2018 di Bursa New York Mercantile Exchange menyentuh US$ 68,95 per barel. Ini adalah posisi tertinggi harga minyak WTI sejak 24 Desember 2014. Di saat yang sama, harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2018 di bursa ICE Futures Europe Commodities menyentuh US$ 74,30 per barel, posisi tertingginya sejak 15 Mei 2015.
Analis Paramitra Alfa Sekuritas, William Siregar, menilai menguatnya harga minyak membuat sebagian pelaku pasar cenderung mengalihkan dananya ke investasi sektor komoditas dibandingkan masuk pasar modal. Apalagi, bobot emiten berbasis komoditas di IHSG tidak terlalu besar, atau betanya tidak terlalu tinggi.
Jadi, meski indeks pertambangan di BEI tumbuh tinggi, hal itu tak berefek besar bagi IHSG. "Menguatnya harga minyak, tidak mampu mendongkrak IHSG secara signifikan," jelas William kepada Kontan.co.id, kemarin.
Untuk saham berbasis minyak dan gas, William masih mempertahankan rating buy, khususnya ELSA dengan target Rp 650 per saham. Ini untuk memanfaatkan sentimen menguatnya harga minyak dan peluang tingginya kontrak baru ELSA pasca holding migas terbentuk. "Untuk saham lain, saya tertarik dengan LEAD setelah mendapatkan kontrak baru dan memanfaatkan kenaikan harga migas. Tapi saya masih unrated," ungkap dia.
Dia menegaskan, kenaikan harga minyak tak berdampak signifikan bagi IHSG. Ia memperkirakan, hingga akhir tahun nanti harga minyak berpotensi menyentuh US$ 80 per barel.
Kepala Riset Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan juga menilai, kenaikan harga minyak belum berdampak signifikan terhadap pergerakan IHSG. Lain cerita, jika kenaikan itu berlangsung untuk waktu lama atau bersifat jangka panjang. "Kalau sekarang masih sebatas sentimen sektoral saja yang terdampak. Begitu juga sektor sahamnya. Yang terdampak seperti pertambangan, nikel dan komoditas lain," kata Alfred.
Efek keseluruhan kenaikan harga minyak baru dirasakan pasar keuangan Tanah Air jika kenaikannya berlangsung lama. Tapi ada pula sentimen negatif kenaikan harga minyak. Yakni, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan target inflasi akan terganggu.
Daya beli konsumen juga bisa terpukul. "Kalau harga minyak bisa kembali ke US$ 80 per barel, bisa berpengaruh ke inflasi. Tapi saya rasa, risiko ke arah sana masih lama," ungkap dia.
Saat ini, Alfred menilai, saham migas seperti MEDC yang paling menikmati kenaikan harga minyak mentah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News