Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak diperkirakan masih bergejolak, dipengaruhi oleh potensi kelebihan pasokan dan ketidakpastian mengenai sanksi terhadap Rusia.
Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak WTI berada di US$ 77,88 per barel atau turun 1,02% pada Jumat (17/1). Meski begitu, harganya masih dalam tren kenaikan empat minggu beruntun.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan, sentimen yang berada di pasar cenderung spekulatif. Meskipun menurutnya, sentimen sanksi diperkirakan tidak berdampak jangka panjang.
Baca Juga: Harga Minyak Menuju Kenaikan Minggu Keempat, Investor Menimbang Dampak Sanksi AS
Selain itu, ia juga berpandangan bahwa OPEC+ masih perlu memulihkan produksi tahun ini dan produksi Amerika Utara masih akan meningkat, sementara permintaan tumbuh pelan.
Lukman memaparkan suplai minyak tahun 2025 diperkirakan meningkat 1,6 juta barel per hari (bph) menjadi 102,6 juta bph, di luar potensi pemulihan produksi OPEC+. Produksi Amerika Utara juga diperkirakan naik 1,1 juta barel, berasal dari AS sebesar 800 ribu dan Kanada 300 ribu.
Sementara itu, permintaan naik 1,3 juta barel menjadi 103,9 juta barel. "Secara kasar terlihat masih akan sedikit surplus, namun perlu diingat OPEC+ besar kemungkinan akan memulihkan produksi mereka sekitar 2 juta bph tahun ini, namun tentunya ini masih tidak mungkin bisa dipastikan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (19/1).
Baca Juga: Harga Minyak Sedikit Turun Setelah Lonjakan akibat Penurunan Stok AS dan Sanksi Rusia
Oleh sebab itu, Lukman berpandangan bahwa sentimen harga minyak masih akan terus negatif sampai pemulihan ekonomi global, terutama China. "Namun, China sendiri masih akan terus mendorong elektrifikasi kendaraan," lanjutnya.
Karenanya, saat ini Lukman memperkirakan target harga minyak masih kisaran US$ 60 per barel.
Selanjutnya: Jumlah Penduduk Miskin Turun di September 2024, Kemensos Ungkap Faktornya
Menarik Dibaca: Film 1 Kakak 7 Ponakan Siap Sentuh Hati Penonton Bioskop
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News