Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - SINGPURA. Harga minyak mentah kembali menguat setelah sehari sebelumnya melonjak lebih dari 1%. Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (5/2) pukul 14.40 WIB, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 21sen atau 0,4% menjadi US$ 49,82 per barel.
Setali tiga uang, harga minyak Brent turut naik 31 sen atau 0,6% ke level US$ 54,27 per barel.
Penguatan harga minyak didorong oleh berita tentang rencana OPEC dan sekutunya atau OPEC+ menimbang penurunan produksi lebih lanjut guna melawan potensi tekanan pada permintaan minyak global yang dihasilkan dari penyebaran virus corona dari China.
Baca Juga: Harga minyak melambung lebih dari 1% menunggu pertemuan OPEC+
Seperti diketahui, OPEC+ mulai menimbang dampak pada permintaan minyak global dan pertumbuhan ekonomi dari wabah virus corona pada Selasa (4/2). Hal tersebut dilakukan setelah mendengar pidato daru utusan China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Wina, Swiss.
Produsen minyak mentah ini akhirnya menimbang penurunan produksi lebih dalam dan memindahkan rencana pertemuan tahunan yang sebelumnya direncanakan bulan Maret menjadi ke bulan Februari.
"Aksi jual minyak sudah ke wilayah oversold sehingga pasar tidak perlu terkejut jika terjadi rebound," kata Edward Moya, Analis OANDA kepada Reuters.
Baca Juga: Harga minyak naik tipis setelah menyentuh level terendah setahun terakhir
Namun, dia mengingatkan dampak dari pembatasan produksi hanya sementara jika China tak dapat segera menanggulangi masalah wabah virus corona.
"Ini adalah waktu yang kritis untuk harga minyak dan jika pengurangan produksi lebih dalam pun tidak akan berpengaruh jika penutupan terhadap China tak segera berakhir dan akan menghancurkan permintaan dari importir minyak mentah utama tersebut," jelas Moya.
Ketakutan terhadap kemerosotan ekonomi China yang membuat harga anjlok, juga membuat produsen minyak mulai menyimpan stok minyak untuk dijual kembali saat harga lebih menguntungkan.
"Dengan harga saat ini, produsen komoditas ini akan segera mulai mengurangi produksi dan investasinya," kata Moody's Analytics seperti dikutip Reuters.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News