Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Harga minyak dunia melemah tajam lebih dari 2% pada Kamis (10/7) waktu setempat, seiring kekhawatiran pasar terhadap dampak ekonomi global dari gelombang kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Melansir Reuters, harga minyak Brent ditutup turun US$1,55 atau 2,21% ke level US$68,64 per barel.
Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun US$1,81 atau 2,65% menjadi US$66,57 per barel.
Baca Juga: Geopolitik Timur Tengah Memanas, ICP Juni Melonjak Jadi US$ 69,33 Per Barel
Pelemahan ini terjadi setelah Trump pada Rabu mengancam akan mengenakan tarif 50% terhadap ekspor dari Brasil, menyusul ketegangan diplomatik yang meningkat terkait pengadilan terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro atas dugaan percobaan kudeta pasca-kemenangan Luiz Inacio Lula da Silva pada 2023.
Presiden Lula merespons dengan memanggil para menterinya untuk rapat darurat pada Kamis, sehari setelah ia mengisyaratkan kemungkinan tindakan balasan di media sosial.
Selain Brasil, Trump juga mengumumkan rencana tarif baru terhadap tembaga, semikonduktor, dan produk farmasi.
Pemerintah AS dilaporkan telah mengirim surat pemberitahuan tarif ke Filipina, Irak, serta negara mitra dagang utama seperti Korea Selatan dan Jepang, menambah daftar lebih dari selusin negara yang mendapat peringatan minggu ini.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun Kamis (10/7) Pagi, Brent ke US$ 69,97 & WTI US$ 68,11
Meski demikian, pelaku pasar tampak belum terlalu reaktif terhadap kabar ini.
“Pasar cenderung bersikap menunggu dan melihat, mengingat sifat kebijakan tarif yang tidak konsisten dan fleksibilitas yang ditunjukkan pemerintahan Trump,” ujar Harry Tchilinguirian, Kepala Riset Grup di Onyx Capital Group.
Dari sisi kebijakan moneter, risalah rapat Federal Reserve pada 17-18 Juni mengungkapkan bahwa hanya beberapa pejabat yang melihat peluang untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Mayoritas masih mencemaskan tekanan inflasi dari kebijakan tarif baru.
Suku bunga tinggi berpotensi menekan permintaan energi karena meningkatkan biaya pinjaman dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Prospek Produksi OPEC+
Sementara itu, negara-negara anggota OPEC+ diperkirakan akan menyetujui peningkatan produksi signifikan pada September, seiring rampungnya proses pengembalian kuota dari delapan negara anggota yang sebelumnya memangkas produksi secara sukarela.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Stabil Rabu (9/7), Dipicu Permintaan BBM dan Ketegangan Laut Merah
Uni Emirat Arab juga mulai mengadopsi kuota baru yang lebih tinggi.
Namun, analis Phil Flynn dari Price Futures Group mengatakan OPEC+ membuka peluang untuk menahan kenaikan produksi pada Oktober, karena permintaan minyak global mungkin sudah mendekati puncaknya.
“Ketakutan akan ‘peak oil’ belum terbukti nyata. Kenaikan harga justru mendorong eksplorasi sumber-sumber baru, baik di dalam negeri maupun lepas pantai,” tulis Flynn dalam catatannya.
Baca Juga: Rekaman Audio Bocor: Trump Ancam Putin Bakal Bom Moskow Habis-habisan
Faktor Geopolitik Tambahan
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dilaporkan telah menggelar pertemuan langsung dengan Menlu Rusia Sergei Lavrov, menyampaikan kekecewaan Washington atas lambannya upaya damai untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Trump pun menegaskan bahwa ia sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang baru yang akan memberlakukan sanksi lebih keras terhadap Rusia.
Selanjutnya: Daftar Promo HUT BNI ke-79 Juli 2025, Diskon dan Bonus Menarik Tomoro hingga HokBen
Menarik Dibaca: Dibimbing.id Rancang Pelatihan Hospitality Berbasis Asesmen Kebutuhan Perusahaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News