Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak aset investasi bergerak naik, investor dianjurkan untuk memperhatikan aset investasi paling aman dan likuid di masa pandemi. Investor bisa memperbanyak porsi portofolionya di instrumen obligasi.
Head of Investment Research Infovesta Wawan Hendrayana mengatakan, di masa pandemi investor bisa sewaktu-waktu membutuhkan dana darurat. Sehingga aset dengan likuiditas yang baik juga perlu jadi perhatian dalam menyusun portofolio.
"Aset emas saat ini memang menarik karena sudah menembus Rp 1 juta per gram, namun perhatikan likuiditasnya. Apalagi kalau asetnya kecil, akan sulit dicairkan karena biasanya ada batas minimum," ujar Wawan kepada Kontan.co.id, Kamis (29/7).
Baca Juga: Hati-hati beli emas, simak tips menyusun portofolio berikut
Untuk itu, bagi yang ingin berinvestasi di emas perlu mempertimbangkan potensi kenaikan harga dan jenis investasinya. Jika memilih logam mulia, maka pertimbangkan lokasi penyimpanan aset dan risiko kehilangan. Sedangkan jika membeli lewat agen penjualan online, maka perlu diwaspadai likuiditas dan fee, jangan sampai memberatkan.
Selanjutnya, ada instrumen obligasi yang dinilai masih akan menarik hingga tahun depan. Wawan menilai, obligasi negara cenderung lebih aman dan relatif likuid, ditambah lagi potensi kenaikan harga tetap ada meskipun tidak akan setinggi harga emas. Untuk itu, ke depan Wawan menilai obligasi masih menjadi pilihan yang paling aman, paling likuid dan tetap menarik.
Baca Juga: Harga emas naik tinggi, investor bisa melirik aset yang lebih murah
Di sisi lain, Wawan menilai instrumen investasi seperti saham relatif murah, mengingat saat ini harganya masih bertengger di kisaran 5.100. Targetnya, hingga akhir tahun Indeks Harga Saham Gabungan berada di kisaran 5.400-5.500 atau dalam artian masih memiliki potensi return hingga 7%-8%.
"Target tersebut dengan asumsi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) turun lagi dan PSBB bisa berakhir, setidaknya di Agustus. Tapi tetap saja ketidakpastian lebih tinggi dibandingkan instrumen obligasi," ungkap Wawan.
Sebaliknya, prospek emas akan semakin tinggi seiring peningkatan ketidakpastian. Untuk itu, dalam menyusun portofolio, Wawan cenderung merekomendasikan penempatan 50% dana di aset-aset berbasis obligasi, khususnya milik negara. Selanjutnya, 30% bisa ditempatkan di aset likuid semacam pasar uang, deposito dan lainnya. Sedangkan sisanya, 20% bisa ditempatkan pada emas ataupun saham pilihan.
"Ingat, untuk emas perlu dipikirkan penyimpanannya dan kondisi likuiditasnya. Sedangkan saham, idealnya untuk jangka panjang," jelas Wawan.
Baca Juga: Belajar dari kasus Jouska, ini ruang lingkup financial planner dan financial advisory
Secara valuasi dan return, Wawan menilai obligasi akan lebih terukur. Prediksinya, untuk SBN tenor 10 tahun memiliki potensi yield 7% tahun ini dan tahun depan menjadi 6% lantaran suku bunga yang masih dalam tren turun.
Sedangkan untuk valuasi emas dinilai masih cukup tinggi, sehingga potensi return juga sulit untuk diprediksi. Hanya saja, untuk sentimen bisa dilihat dari tingkat ketidakpastian dan persepsi global terhadap risiko pandemi Covid-19.
"Selama risiko makin meningkat, emas layak jadi aset hedging. Namun perlu diwaspadai jika kabar vaksin Covid-19 berhasil ditemukan, emas berpotensi anjlok dan saham kembali naik," pungkas Wawan.
Baca Juga: Kabar baik untuk dunia, ada 24 vaksin virus corona paling potensial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News