kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,72   -9,77   -1.06%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Energi hijau bisa menjadi ancaman bagi harga batubara?


Senin, 23 November 2020 / 18:31 WIB
Energi hijau bisa menjadi ancaman bagi harga batubara?
ILUSTRASI. Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara mulai kembali membara. Mengutip Bloomberg, harga batubara ICE Newcastle untuk pengiriman Januari 2021 berada di level US$ 65,50 per ton pada penutupan Jumat (20/11). Ini merupakan level tertinggi yang berhasil dicapai komoditas emas hitam ini sepanjang 2020.

Meski demikian, salah satu penjegal langkah batubara ke depan adalah pengembangan energi hijau (green energy). Dalam laporannya, Mic Kang, Vice President and Senior Credit Officer lembaga pemeringkat Moody’s menyebut, penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara akan menurun jika pertumbuhan tahunan permintaan listrik melambat dengan rata-rata di bawah 2% sampai 3% di wilayah Asia selama 10 tahun ke depan.

Adapun pertumbuhan permintaan energi yang melambat di Asia akan berdampak paling signifikan bagi produsen batubara. Hal ini karena Pemerintah di sejumlah Negara telah memperketat standar lingkungan dan mengampanyekan kebijakan yang mendukung energi terbarukan.

Baca Juga: Saham emiten batubara mulai membara, ada yang melesat hingga 16% hari ini

Mic Kang menyebut, produsen listrik berbahan bakar batubara juga menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan penyedia energi terbarukan, yang telah membuat teknologi mutakhir untuk meningkatkan efisiensi dan biaya.

Jika biaya energi pembangkit listrik tenaga angin dan surya di China dan India menurun setiap tahun dengan persentase satu digit hingga belasan persen dari semester-I 2020 sampai 2025-2030, maka energi alternatif ini kemungkinan besar akan menjadi sama kompetitifnya dengan biaya pembangkit listrik yang dihasilkan dari batubara pada tahun 2025-2030.

“Selain itu, pembiayaan (financing) untuk produsen listrik batubara Asia akan terus menurun karena pasar pendanaan menginginkan energi menjadi lebih hijau. Investor juga kehilangan minat terhadap aset pembangkit listrik tenaga batubara di tengah risiko volume dan ketidakpastian atas pemulihan permintaan,” tulis Mic Kang dalam laporan resminya, Kamis (19/11).

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas mengamini kampanye penggunaan energi baru terbarukan (EBT) memang bisa menjadi hambatan untuk penyerapan batubara. Hanya saja, Sukarno meyakini butuh proses yang panjang untuk beralih dari energi fosil ke EBT.

Baca Juga: Humpuss Intermoda (HITS) meremajakan armada

“Batubara masih tetap berpeluang tumbuh selain karena murah, untuk proyek EBT saya rasa butuh batubara untuk sementara,” terang Sukarno kepada Kontan.co.id, Senin (23/11).

Adapun penguatan yang terjadi pada harga batubara saat ini dinilai Sukarno mencerminkan optimisme perkembangan vaksin yang mulai menunjukkan kemajuan yang baik, sehingga dapat mengembalikan aktivitas bisnis dengan normal dan perekonomian bisa kembali pulih. Selain itu, datangnya musim dingin juga menjadi pemicu meningkatnya permintaan batubara.

Alhasil, emiten dengan orientasi ekspor seperti  PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), dan PT Indika Energy Tbk (INDY) akan lebih diuntungkan dengan situasi ini. 

Selanjutnya: Usai tambah kapasitas pabrik, ini rencana ekspansi Saraswanti Anugerah (SAMF)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×