Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah stagnan selama lima tahun, pemerintah kembali mencanangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tahun 2026. Sejumlah analis menilai, keputusan ini akan menjadi katalis ganda bagi emiten rumah sakit dan farmasi.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026, pemerintah menetapkan anggaran kesehatan sebesar Rp 244 triliun. Jumlah ini meningkat 15,8% ketimbang outlook 2025 yakni sebesar Rp 210,6 triliun.
Sebanyak Rp 123,2 triliun disiapkan untuk layanan kesehatan masyarakat. Tercatat, jumlah terbesar dialokasikan untuk subsidi iuran BPJS, yakni mencapai Rp 69 triliun.
Baca Juga: Ini Target Penerimaan Negara RAPBN 2026 dan Strategi Kebijakannya
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty menilai, ada dua sisi koin yang bisa dirasakan emiten rumah sakit atas kebijakan ini. Positifnya, langkah ini bisa memperkecil defisit Dana Jaminan Sosial (DJS).
“Program seperti KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) dan skema Coordination of Benefits (CoB) dapat memperluas pelayanan dan meningkatkan segmen non-JKN, yang lebih margin-friendly,” jelas Arinda kepada Kontan, Rabu (27/8/2025).
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi menambahkan, kebijakan ini juga bisa mengurangi siklus keterlambatan pembayaran pasien BPJS, sehingga mendorong perbaikan arus kas rumah sakit.
Meski begitu, lanjut Arinda, kenaikan iuran berpotensi menurunkan akses layanan rumah sakit, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini bisa menekan margin operasional rumah sakit, terutama yang sangat bergantung pada volume pasien BPJS.
Baca Juga: Mitra Keluarga (MIKA) akan Buka 1 Rumah Sakit di Kuartal III, Simak Rekomendasinya
Berdasarkan amatan Kontan, rumah sakit yang memiliki eksposur besar terhadap BPJS saat ini ialah PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL). Tercatat, HEAL punya piutang BPJS senilai Rp 665,73 miliar di semester I 2025.
Dengan porsi lebih kecil, PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) juga mencatat piutang BPJS sebesar Rp 136,88 miliar di periode yang sama.
Memang, kata Arinda, ada risiko penurunan jumlah pasien BPJS akibat kenaikan iuran tersebut.
Meski begitu, dengan anggaran itu, pemerintah kata dia diharapkan dapat menjaga keseimbangan dengan mempercepat proses pembayaran klaim. Langkah ini bisa mempertahankan traffic pasien BPJS, sehingga penurunan jumlah pasien tidak terlalu signifikan.
Tak cuma bagi emiten rumah sakit, Arinda mencermati, dampak kebijakan ini juga bisa dirasakan emiten farmasi.
Emiten ini menurutnya bisa menghadapi tekanan bila masyarakat cenderung beralih ke obat alternatif yang lebih murah atau memanfaatkan program obat gratis dari pemerintah. Kondisi ini berpotensi mengurangi penjualan dan menekan margin.
Baca Juga: Pasien BPJS Turun Jadi Tantangan Emiten Rumah Sakit, Begini Rekomendasi Sahamnya
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan pun sependapat. Dampak langsung juga akan dirasakan emiten sektor farmasi, mengingat mereka terkait erat dengan rantai pasok layanan BPJS.
“Bahkan, jika daya beli melemah lebih jauh, sektor konsumsi ritel juga bisa ikut terpengaruh, meskipun skalanya relatif kecil,” ujar Ekky.