Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya emiten menjaring dana lewat penerbitan obligasi, baik obligasi lokal maupun global, masih marak pada awal tahun ini. Penjaringan dana lewat obligasi kian populer, terutama setelah peringkat utang Indonesia meningkat.
Ada beberapa alasan emiten menerbitkan obligasi. Di antaranya untuk ekspansi ataupun melakukan refinancing utang perusahaan yang jatuh tempo. Misalnya, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) yang ingin membayar utang obligasi jatuh tempo senilai Rp 2 triliun.
Semuel Kurniawan, Sekretaris Perusahaan TELE, mengatakan, surat utang menjadi pilihan karena memiliki bunga yang lebih menarik dibandingkan dengan pinjaman perbankan. "Selain itu juga mempertimbangkan fleksibilitas," ujar Semuel kepada KONTAN, Kamis (22/2).
Namun, dalam menerbitkan surat utang, perusahaan juga harus tetap mewaspadai sejumlah sentimen eksternal. Misalnya soal rencana kenaikan suku bunga The Fed.
Tak hanya TELE, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) juga menjaring dana lewat penerbitan obligasi global senilai US$ 300 juta. Swasti Kartikaningtyas, Sekretaris Perusahaan SSMS, mengatakan, ada dua faktor yang membuat perusahaan sawit ini memutuskan menerbitkan obligasi global.
Pertama, karena saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menjaring pendanaan dari pasar. Kedua, karena perusahaan bisa mendapat sisi positif publikasi.
Dengan demikian, investor berkesempatan melihat prospek SSMS dalam jangka panjang. "Artinya perusahaan bisa going global juga. Ini agar investor global bisa melihat fundamental dan prospek SSMS," ujar Swasti.
Sejatinya, penerbitan obligasi global ini akan dilakukan tahun lalu. Namun, perusahaan ini menunda penerbitan lantaran kondisi pasar yang kurang kondusif. SSMS juga tetap membuka peluang untuk mencari pinjaman perbankan jika diperlukan.
Selain kedua perusahaan itu, beberapa emiten lainnya juga mencari dana untuk ekspansi melalui penerbitan obligasi. Misalnya saja, beberapa emiten BUMN karya seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR).
Pertimbangkan DER
Penerbitan obligasi memang menjadi pilihan pendanaan utama bagi emiten saat ini. Pasalnya, kupon obligasi masih lebih murah ketimbang bunga pinjaman korporasi yang dipatok bank, apalagi bagi perusahaan yang punya rating utang bagus.
Selain itu, emiten bisa melakukan refinancing obligasi meski jatuh tempo obligasi masih lama. Sementara bila mencari pinjaman bank, emiten harus terus membayar kupon dan pokok pinjaman. Alhasil, dari sisi cost of fund, obligasi lebih murah.
Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Sekuritas, menyarankan, penerbitan obligasi korporasi sebaiknya dilakukan sebelum September 2018. Hal ini mempertimbangkan faktor eksternal, seperti kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed.
Pasalnya, pelaku pasar juga belum dapat memastikan berapa kali The Fed akan menaikkan suku bunga tahun ini. "Kalau naik, maka yield akan naik. Apalagi obligasi 10 tahunan, maka biaya penerbitan akan semakin tinggi," kata Edwin kepada Kontan.co.id di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin.
Selain itu, melalui penerbitan obligasi, emiten juga bisa mendapat profil utang dengan jangka waktu yang lebih panjang. "Kalau perusahaan dengan peringkat utang baik, bisa mendapatkan kupon obligasi rendah. Maka perusahaan punya cost of fund yang murah," imbuh Edwin.
Edwin menambahkan, obligasi dengan penerbitan di atas Rp 2 triliun, juga lebih ideal bila diterbitkan dengan skema penawaran global. Pasalnya, penyerapan dana akan lebih maksimal. Sedangkan untuk nilai emisi Rp 500 miliar-Rp 1 triliun, dapat diterbitkan untuk kalangan lokal.
Selain itu, emiten yang menggunakan dana obligasi untuk ekspansi, akan dinilai lebih menarik, dibandingkan emiten yang menggunakan obligasi untuk bayar utang. "Lihat juga prospek emiten, sentimen sektoral, dan rating emiten," tutur Edwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News