Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca rilis data inflasi dan Jobless Claims, dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap sejumlah mata uang asing. Hanya saja, penguatannya dinilai bersifat sementara.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pasca rilis data terseut, dolar AS memang cenderung menguat, namun kemudian justru berbalik arah di akhir sesi. Menurutnya, terbatasnya dampak dari rilis inflasi pada dasarnya akibat peningkatan inflasi yang didorong oleh komponen inflasi non-inti, terutama dari sisi energi.
Inflasi inti masih melambat menjadi 3,9% YoY dari 4% YoY.
"Dengan penyebab inflasi yang berasal dari komponen non-inti, para investor masih cenderung melihat ruang pemotongan di semester I 2024, sehingga tren penguatan dolar AS cenderung temporer," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (12/1).
Baca Juga: Di Tengah Penguatan Dolar AS, Ini Sejumlah Mata Uang Asing Yang Masih Menarik
Ke depannya, Josua berpandangan dolar AS masih berpotensi mengalami depresiasi. Utamanya, akibat ekspektasi penurunan suku bunga the Fed di tahun 2024. Berbeda dengan the Fed, bank sentral di negara maju cenderung masih ragu terkait ruang pemangkasan suku bunga di tahun 2024.
Di antara valas negara maju, perlambatan inflasi di negara Eropa dan Inggris cenderung tertahan sehingga berpotensi mendorong ECB serta BoE untuk mempertahankan stance kebijakan higher-for-longer.
"Arah tersebut berpotensi mendorong apresiasi EUR dan GBP terhadap negara-negara peers," jelasnya.
Research And Development PT Handal Semesta Berjangka Alwy Assegaf sepakat bahwa penguatan dolar AS hanya bersifat sementara. Sebab, berdasarkan Fed Watch Tool, probabilitas dari pelaku pasar atas pemangkasan suku bunga di Maret masih tinggi, di level 66,3%.
"Dengan ekspektasi penurunan suku bunga, maka akan membuat yield obligasi AS akan ikut turun," tambahnya.
Alwi melihat, pergerakan yield obligasi AS juga terus melandai. Saat ini, yield-nya sudah turun di bawah 4% dan diperkirakan bisa turun ke 3,8%.
Sebaliknya, mata uang Euro dan Poundsterling berpotensi menguat. Ini seiring dengan pandangan ECB dan BoE yang menyatakan tingkat suku bunga saat ini belum mampu meredam inflasi yang tinggi. Sehingga kedua bank sentral itu lebih berhati-hati dalam memangkas suku bunganya.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah Tipis ke Rp 15.550 Per Dolar AS Pada Hari Ini (12/1)
Alwi melanjutkan, sebetulnya Yen juga menarik untuk dicermati karena BoJ berencana menerapkan melonggarkan kebijakan moneternya. Hanya saja, peluangnya terbilang kecil karena Jepang baru mengalami bencana sehingga pemerintahnya harus mengeluarkan stimulus, yang berarti menjauhkan harapan untuk melonggarkan kebijakan moneternya.
"Inflasi Jepang juga melandai ke 2,1%, artinya harapan untuk melonggarkan keebijakan moneternya semakin jauh," katanya.
Oleh sebab itu, Alwi menilai mata uang yang saat ini menarik dicermati baru EUR dan GBP. Adapun hingga akhir kuartal I 2024, EUR diperkirakan berada di level 1,1250 dan GBP di 1,3090. Sementara pada akhir tahun nanti diperkirakan EUR di 1,16 dan GBP pada level 1,37.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News