Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat tertekan selama November 2023. Mata Negeri Paman Sam ini diperkirakan akan terus tertekan hingga akhir tahun.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pelemahan nilai tukar dolar AS sepanjang November disebabkan oleh indikator perekonomian AS yang melemah.
Sehingga memperkuat ekspektasi bahwa Fed tidak akan meningkatkan suku bunganya, serta sudah mulai akan melakukan pemotongan suku bunga pada pertengahan 2024 mendatang.
Ekspektasi tersebut akan semakin kuat ke depannya, terutama bila data-data AS cenderung melanjutkan pelemahannya. Ini juga mengingat Fed menyatakan bahwa kebijakan moneternya akan sangat bergantung pada data-data perekonomian AS.
Baca Juga: Pertemuan OPEC+ Panaskan Harga Minyak Dunia
"Pasca pengumuman FOMC pada pertengahan Desember mendatang, kami perkirakan dolar AS melanjutkan pelemahannya sejalan dengan proyeksi bahwa komite dari The Fed akan cenderung lebih dovish dibandingkan dengan pertemuan di bulan September lalu," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (30/11).
Berdasarkan tren selama bulan November ini, Josua menilai mata uang G-10 dengan penguatan yang signifikan justru berasal dari mata uang yang berkaitan dengan komoditas. Misalnya, Australian Dollar maupun Swedish Krona, meskipun harga minyak global cenderung tinggi.
Hal ini berkaitan dengan eskpektasi bahwa negara-negara tersebut masih cenderung akan mempertahankan suku bunga tinggi. Sehingga ekspektasi rate gap antar negara tersebut cukup terjaga.
"Kami melihat bahwa di antara negara G-10, Dollar Australia masih cenderung memiliki potensi meningkat, terutama mengingat bahwa RBA masih mempertahankan kebijakan moneter yang cenderung hawkish," katanya.
Baca Juga: Harga Emas Terus Menguat, Efek Pelemahan Dolar AS
Ke depannya, Josua menilai mata uang di Asia diperkirakan masih cenderung lebih menarik dibandingkan dengan mata uang G-10. Utamanya akibat dari pemulihan ekonomi di negara Asia lebih cepat dibandingkan dengan mata uang negara G-10.
"Sehingga prospek untuk masuk ke aset negara Asia cenderung lebih menarik, terutama ketika risk-appetite sedang meningkat," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News