Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi cukup dalam yaitu anjlok 8,2% pada penutupan Februari 2020. Sementara indeks obligasi pemerintah Indonesia (BINDO) cenderung flat dengan kinerja tumbuh 0,12%.
Volatilitas pasar selalu cenderung meningkat di tengah ketidakpastian yang terjadi. Dus, Bank Commonwealth merekomendasikan investor yang memiliki profil risiko moderat untuk sementara dapat menambahkan atau mengalihkan porsi portofolionya ke instrumen pendapatan tetap yaitu obligasi.
Baca Juga: Ketidakpastian ekonomi global akibat wabah corona pengaruhi cadangan devisa ke depan
"Untuk investor yang memiliki profil risiko agresif dapat memanfaatkan peluang ini untuk menambah porsi aset kelas saham di portofolionya melalui reksadana saham," tulis Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya dalam rilis resmi yang diterima Kontan, Jumat (6/3).
Koreksi yang terjadi saat ini membuat valuasi pasar saham relatif murah. Valuasi IHSG saat ini berada di bawah -2 kali standar deviasi rata-rata 5 tahun. Kondisi tersebut terakhir terjadi pada semester II-2015.
Pada saat itu penurunan di pasar saham dipicu oleh faktor global yakni krisis Yunani, bukan karena faktor fundamental Indonesia. Pasar saham pada saat itu mengalami recovery dari titik terendahnya hingga mencapai sekitar 16% dalam waktu 4 bulan dan naik 32% dalam waktu sekitar 10 bulan.
Baca Juga: Penjualan Indocement Tunggal Prakarsa (INTP) Januari 2020 anjlok 10%, ini penyebabnya
Jika membandingkan fundamental dalam negeri, kondisi saat ini cukup berbeda dengan tahun 2015. Saat ini inflasi cenderung stabil di level rata-rata 3% secara tahunan (yoy), sementara tahun 2015 sempat menyentuh 7,26% yoy.
Nilai tukar Rupiah saat ini stabil di level Rp 14.200 per dollar Amerika Serikat (AS), dibandingkan pada 2015 yang sempat mencapai Rp 14.600. Kestabilan Rupiah saat ini didukung oleh cadangan devisa sebesar US$ 131 miliar, jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi 2015 yang tercatat US$ 101 miliar.
Selain itu, pemerintah serta bank sentral telah mengambil sikap preventif untuk menahan gejolak perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus Corona. Bank sentral China telah memberikan suntikan likuiditas ke pasar sebesar US$ 174 miliar pada awal Februari 2020.
Selain itu, PBOC juga memangkas suku bunga Loan Prime Rate (LPR) sebesar 10 basis poin (bps).
Baca Juga: Waduh, IHSG anjlok 2,48% ke 5.498 pada akhir perdagangan hari ini
The Fed merespon dengan memangkas suku bunga darurat sebesar 50 bps menjadi 1%-1,25%. Bank Indonesia (BI) telah melakukan pemotongan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Februari.
Di susul pada Maret ini dengan meluncurkan senjata untuk meredam outflow asing baik dari pasar Rupiah maupun obligasi. Dari pemerintah telah meluncurkan insnetid pada industri pariwisata dan penerbangan untuk menopang dampak negatif dari penurunan kunjungan wisatawan mancanegara.
“Dengan kondisi fundamental Indonesia yang stabil, kondisi penyebaran virus corona yang bersifat sementara serta langkah antisipasi dari pemerintah serta bank sentral baik di China, AS, Eropa bahkan Indonesia yang responsif, hingga saat ini kami melihat koreksi yang terjadi bisa dimanfaatkan untuk menyeimbangkan kembali porsi kelas aset saham di dalam portofolio,” ujar Ivan Jaya.
Baca Juga: IHSG melorot 2,31% ke 5.508 pada perdagangan siang hari ini (pukul 14.23 WIB)
Ivan menyarankan, investor yang agresif yang dapat menambah serta menyeimbangkan kembali di portofolio yang tergerus dengan memanfaatkan koreksi yang sedang terjadi saat ini.
Lalu bagi investor moderat bisa memperbesar ataupun mengalihkan portofolio-nya ke dalam kelas aset obligasi, yang cenderung memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News