Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kondisi bursa global yang bergejolak ikut merontokkan harga Surat Utang Negara (SUN). Bahkan, kejatuhan harga SUN mencapai level terendah sepanjang tahun ini. Selain itu, Indeks IDMA Government Bond yang mencerminkan harga rata-rata Surat Utang Negara (SUN), hari ini (9/10) juga anjlok 16,49% menjadi 76,86% dari posisi tertingginya 11 April lalu.
FR 27, misalnya. Surat utang berjangka waktu tujuh tahun itu harganya sudah anjlok 6,99% ke level terendahnya sejak posisi tertinggi pada 6 Agustus dan bertengger pada posisi 86,59. Imbal hasil yang diberikan juga naik 36,56% menjadi 15,09%.
SUN berjangka waktu sepuluh tahun yaitu FR 48 pun harganya sudah turun 28% menjadi 86,87. Penurunan tersebut diikuti dengan kenaikan yield yang tajam sebesar 38,21% menjadi 15,09%. Padahal 6 Agustus lalu, yieldnya masih 11,2%.
Kondisi serupa juga terjadi pada SUN berjangka waktu 20 tahun yakni FR 47. Harga SUN ini sudah anjlok 33% menjadi 86,59 dari harga tertingginya pada 7 Agustus di 86,59. Otomatis, yieldnya pun ikut terdongkrak 34,52% menjadi 15,82%.
Sebenarnya, tingkat imbal hasil yang sangat besar itu dapat menarik investor asing untuk masuk dalam pasar surat utang kita. "Ini sangat menguntungkan bagi investor asing," kata Analis Obligasi Bank Danamon Helmi Arman. Namun, menurut Helmi, pelaku pasar masih akan mencermati bagaimana pergerakan nilai tukar rupiah. Sebab, jika rupiah anjlok, maka mereka bisa mengalami potensial lost yang cukup besar.
Sementara itu, Analis Obligasi Panin Securities Benyamin Siahaan menilai, penurunan harga SUN kali ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya yaitu penarikan aset asing dari emerging market dan adanya penarikan dana besar-besaran dalam pasar reksadana pendapatan tetap. "Salah satu institusi asing yang menarik dana melalui bank lokal, memicu kekhawatiran investor domestik yang kemudian panik dan ikut menarik dana," katanya. Hal itu, otomatis membuat yield yang diminta investor naik menyusul turunnya harga SUN itu sendiri.
Meski demikian, kedua analis itu menilai harga SUN masih bisa kembali menguat dalam jangka panjang. "Tidak ada yang salah dengan fundamental ekonomi kita," jelas Benyamin. Benyamin menilai, naiknya BI rate seharusnya bisa membuat differential interest rate yang lebih besar dan lebih menarik lagi bagi investor asing untuk masuk. "Investor domestik sebaiknya tidak perlu ikut panik, karena investor asing akan kembali masuk karena imbal hasil SUN kita sangat menarik," kata Benyamin.
Helmi sendiri meyakini, turunnya inflasi dan berkurangnya kebutuhan pembiayaan pemerintah yang disebabkan turunnya harga minyak dunia sebenarnya merupakan nilai tambah yang baik bagi perekonomian. “Tapi memang, hal itu tidak serta merta mengembalikan sentimen global yang negatif,” jelasnya.
Menurut Helmi, sebaiknya pemerintah memberikan transparansi jumlah devisa kepada pasar. Sementara Benyamin berpendapat lain. Menurut Benyamin, akan lebih baik jika pemerintah melakukan buyback SUN yang dimilikinya. "Ini akan memberikan keuntungan bagi dua belah pihak," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News