Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek emiten minyak dan gas (migas) dinilai masih tertekan. Penurunan harga dan pasokan berlebih menjadi penyebabnya.
Analis BRI Danareksa Sekruitas, Timothy Wijaya memaparkan OPEC+ telah mengakui pelemahan yang sedang berlangsung di pasar minyak. Sehingga, sekali lagi menunda rencananya untuk meningkatkan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari.
"OPEC+ menunda produksi menjadi April 2025 hingga September 2026, memperpanjang periode pengurangan produksi dari 12 bulan hingga 18 bulan," tulisnya dalam riset, Jumat (10/1).
Selain itu, China berada di tengah-tengah pergeseran struktural dalam permintaan gasoil. Sebab, rekor penjualan EV di bulan Juli 2024 dan substitusi bahan bakar gasoil alat berat dengan LNG, yang menyumbang sekitar 22% dari permintaan minyak sulingan China.
Terakhir, produksi minyak dari Amerika Serikat (AS) telah kuat, mencapai 13 juta barel per hari. Diperkirakan, peningkatan produksi minyak akan terus berlanjut.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Emiten Sektor Migas di Tengah Potensi Surplus Minyak Global
Menurut laporan bulanan IEA, permintaan minyak diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,1mbpd menjadi 103,9mpbd pada 2025 dibandingkan tahun 2024 sebesar 840kbpd. Utamanya, didorong oleh India dan langkah-langkah stimulus yang mendukung pemulihan ekonomi China.
Di sisi lain, IEA memperkirakan pasokan minyak akan tumbuh sebesar 1,9mbpd menjadi 104,8mbpd pada 2025 dibandingkan 630kbpd pada 2024, tidak termasuk pengurangan pasokan OPEC+. Dus, IEA memperkirakan pasar minyak pada 2025 akan mengalami surplus sebesar 900kbpd dibandingkan tahun 2024 sebesar 310kbpd.
"Kami menurunkan asumsi harga minyak menjadi US$ 75 per barel," sebutnya.
Untuk gas, Timothy menyebutkan bahwa dari dalam negeri produksi migas diperkirakan meningkat. Timothy menjelaskan, pada bulan Agustus 2024, Kementerian ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.13/2024 mengenai kontrak bagi hasil dalam kegiatan hulu migas yang membagi gross produksi tanpa mengembalikan biaya operasi (PCS gross split). Aturan itu menggantikan peraturan tahun 2017 untuk menarik lebih banyak investasi migas dengan menyederhanakan persyaratan proyek serta meningkatkan porsi gross split kepada kontraktor.
Baca Juga: Ini Rekomendasi Saham Migas Pilihan di Tengah Harga Minyak yang Memanas di Awal 2025
Selain itu, SKK Migas telah mengumumkan 15 proyek hulu migas yang akan mulai berproduksi pada tahun fiskal 2025 dengan potensi produksi sebesar 191kbpd. Upaya-upaya pemerintah ini bertujuan untuk mencapai produksi nasional sebesar 1mbpd dan 12bscfd pada tahun 2030, dibandingkan dengan 600kbpd dan 6mmscfd yang ditargetkan pada tahun 2025.
Meski begitu, Menteri ESDM menyebutkan potensi penangguhan ekspor gas alam untuk memprioritaskan penggunaan domestik. Sebab, permintaan konsumsi gas diperkirakan meningkat sebesar 1.471 TBTU pada 2025 dan kekhawatiran PLN tentang kekurangan LNG pada 1Q25.
Namun, baru-baru ini terungkap bahwa masalah ini telah teratasi setelah PLN membeli kargo LNG untuk ekspor. Hanya saja, untuk memastikan pasokan energi yang cukup untuk industri lokal dan pembangkit listrik, kementerian masih mempertimbangkan larangan ekspor gas di masa depan, meskipun ditegaskan bahwa kontrak jangka panjang yang ada harus dipenuhi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Timothy menemukan ada empat pelabuhan yang mengekspor LNG, yaitu LNG Badak di Bontang, ladang gas Tangguh di Bintuni, Donggi Senoro di Luwuk, dan Simenggaris di Tarakan. Adapun MEDC memiliki hak partisipasi di Senoro (30%) dan Simenggaris (62,5%).
Di sisi lain, terdapat dua pelabuhan yang mengekspor gas melalui pipa, yaitu dari blok Corridor melalui Batam, dan blok Natuna melalui Kepulauan Riau. MEDC juga memiliki hak partisipasi sebesar 46% dan 40%.
Implikasi terhadap kebijakan yang ada
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2017, yang berkaitan dengan rencana umum energi nasional jangka panjang (RUEN) Indonesia, disebutkan bahwa Kementerian ESDM menargetkan untuk mengurangi ekspor gas sebesar 20% dari tingkat tahun fiskal 2016 dan meniadakan ekspor gas sepenuhnya pada tahun fiskal 2036.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, ekspor gas Indonesia telah turun dari 2.860 BBTUD pada FY16 menjadi 1.905 BBTUD pada 2024, yang merupakan penurunan sebesar 33,4% dalam 9 tahun terakhir. Sementara produksi perlahan-lahan menurun dari 6.856 BBTUD menjadi 5.786 BBTUD pada periode yang sama, yang menandai penurunan sebesar 15,6%.
Namun, konsumsi domestik telah meningkat dari 58% di tahun 2016 menjadi 67% di tahun 2024, yang merupakan langkah progresif menuju tujuan kementerian. Di sisi lain, ekspor gas akan dilarang sepenuhnya pada tahun fiskal 2036, yang masih 12 tahun lagi.
"Dengan melihat kontrak-kontrak ekspor gas saat ini, kami menemukan bahwa MEDC bersih dari kemungkinan larangan ekspor karena kontraknya berakhir antara tahun fiskal 2028-2030," sebutnya.
Secara keseluruhan, BRI Danareksa Sekuritas memberikan pandangan netral untuk sektor migas. Adapun WINS dan MEDC menjadi pilihannya dengan rekomendasi buy, masing-masing dengan target harga Rp 610 dan Rp 1.400.
Baca Juga: Investasi Sektor Migas Digenjot, Cek Rekomendasi Saham PGAS, WINS, AKRA, ELSA, MEDC
Selanjutnya: Kalah dari Vietnam, Realisasi Investasi Asing di Indonesia hanya US$ 100
Menarik Dibaca: 10 Makanan yang Sehat bagi Penderita Diabetes agar Tubuh Tidak Lemas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News