Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) naik di tengah koreksi nilai tukar rupiah. Meski begitu, efeknya diperkirakan tidak akan terlalu mempengaruhi pasar obligasi di tanah air.
Sebelumnya, dalam lelang rutin mingguan yang digelar Jumat (25/10), rata-rata tertimbang yield SRBI naik dari 6,712% menjadi 6,745% untuk tenor 6 bulan. Lalu tenor 9 bulan naik dari 6,800% menjadi 6,804% dan tenor 12 bulan menjadi 7,000% dari 6,879%.
Hal tersebut juga sebagai upaya pemerintah membatasi keluarnya dana asing. Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia (BI) periode 21-24 Oktober 2024, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 6,63 triliun.
Rinciannya, jual neto sebesar Rp 3,01 triliun di pasar saham, jual neto sebesar Rp 4,53 triliun di pasar surat berharga negara (SBN), dan beli neto sebesar Rp 0,91 triliun di SRBI.
Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management Alvaro Ihsan mengatakan, tren penerbitan SRBI cenderung mengikuti pergerakan mata uang rupiah.
Baca Juga: Yield SUN Acuan 10 Tahun Kembali Naik, Begini Prediksi di Akhir Tahun
"Ketika nilai tukar rupiah cenderung tertekan, maka terjadi tren kenaikan nominal penerbitan SRBI serta diikuti oleh imbal hasil SRBI yang cenderung lebih tinggi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (28/10).
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menambahkan, dengan naiknya yield maka instrumen itu akan menjadi lebih menarik dibandingkan SBN. Namun, jika jangka panjang dan melihat arah suku bunga ke depan yang akan turun, maka SBN dinilai tetap lebih menarik karena harganya ke depan akan naik.
"Selain itu, untuk hold to maturity juga akan cukup menguntungkan karena kupon yang tinggi," sebutnya.
Josua juga menilai dampak SRBI ke SBN cukup terbatas karena lelang SRBI sudah dikurangi dan penerbitan SBN lebih banyak ke tenor jangka panjang. Lalu, SBN pada bulan Oktober 2024 masih mencatatkan net inflow.
Menilik data BI, inflow di pasar SBN sepanjang Oktober sebesar Rp 9,27 triliun. Sementara SRBI mencatatkan outflow sebesar Rp 8,33 triliun.
Di sisi lain, Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin menuturkan bahwa secara konsep, SRBI merupakan subtitusi dari SBN. Meski mendukung untuk menyerap likuiditas, tetapi, karena sama-sama instrumen bebas risiko dan saling menggantikan, maka yield SRBI yang tinggi akan membuat kaku yield SBN untuk turun.
Jadi, dia menilai tidak mengherankan jika kembalinya yield SRBI ke level 7% juga akan berdampak negatif terhadap yield SBN. "Dampak terburuknya adalah kenaikan yield SRBI akan mendorong naik yield SBN," terangnya.
Berdasarkan data Bloomberg, yield SUN 10 tahun telah berada di level 6,8% pada Senin (28/10). Sementara pada awal bulan ini berada di level 6,45%.
Baca Juga: Pemerintah Dinilai Masih Mampu Bayar Utang yang Jatuh Tempo Tahun Depan
Untuk jangka pendek ini, yield SBN diperkirakan akan bergerak volatile karena gejolak yang terjadi di pasar keuangan global. Meski begitu, pada akhir tahun 2024, ketiga analis memperkirakan yield akan kembali melandai mengasumsikan suku bunga kembali dipangkas.
Ahamd memproyeksikan yield SUN acuan 10 tahun di rentang 6,6%-6,7% di akhir tahun 2024, lalu Alvaro memperkirakan target yield masih di angka 6,4%-6,6%. Sementara Josua memprediksi, yield SUN acuan 10 tahun di 6,55%.
Lalu di 2025 diperkirakan juga prospek SBN masih cukup menarik seiring perkiraan modal asing yang akan mengalir ke pasar surat utang domestik. Sebab, investor global akan mulai mengejar imbal hasil tinggi di pasar berkembang.
"Bagi pasar domesitk, pricing relatif terhadap pasar AS masih relatif menarik di antara negara-negara berperingkat BBB dengan profil risiko yang stabil. Demikian juga, imbal hasil riil juga relatif tinggi untuk mengkompensasi inflasi domestik," terang Ahmad.
Alvaro juga berpandangan outlook SBN di 2025 masih cukup baik di tengah tren inflasi AS yang mulai menuju angka target 2%, meskipun masih terdapat tantangan di angka inflasi inti. Lalu, outlook suku bunga the Fed juga masih menunjukkan tren penurunan meskipun kecepatan penurunan suku bunga relatif akan lebih lambat dari proyeksi sebelumnya.
"Selain itu, beberapa bank sentral negara maju masih melanjutkan tren penurunan suku bunga meskipun tidak secepat proyeksi sebelumnya," sebutnya.
Baca Juga: Arus Dana Keluar di Pasar Saham dan Obligasi Menyeret Kurs Rupiah Sepekan Lalu
Namun, juga tetap ada tantangan yang perlu diperhatikan. Josua menuturkan tantangan di tahun 2025 adalah tahun puncak SBN jatuh tempo, sehingga ada risiko dari sisi supply dan berakibat membatasi kenaikan harga SBN.
Apalagi, target imbal hasil di tahun depan pada level 7,1% yang mengindikasikan besarnya pasokan ke pasar surat utang. Persentase tersebut 50 basis poin lebih tinggi daripada persentase wajar saat ini.
Tingginya pasokan terutama didorong oleh signifikannya kebutuhan untuk refinancing. Di tahun depan, sebesar Rp 722,50 triliun surat utang akan jatuh tempo, dengan 81,75% berdenominasi rupiah, 10,64% berdenominasi dolar AS dan sisanya berdenominasi yen dan euro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News