Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Raksasa properti China Evergrande Group diperintahkan Pengadilan Hong Kong untuk melakukan likuidasi aset seusai gagal melakukan restrukturisasi utang.
Akibat masalah perdagangan saham China Evergrande, China Evergrande New Energy Vihicle Group dan Evergrande Property Services dihentikan.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan, kebangkrutan Evergrande ini akan menyebabkan guncangan ekonomi di China, sedangkan di Indonesia tidak akan terdampak secara langsung.
Kreditur Evergrande akan mengalami kerugian, hal ini berpotensi memangkas modal investasi mereka, termasuk investasi di Indonesia.
Baca Juga: Menilik Dampak Keruntuhan Evergrande Terhadap Saham Sejumlah Emiten di Indonesia
Selain itu, hal ini juga dapat menekan pertumbuhan ekonomi di China, sehingga dapat menurunkan minat ekspansi para pelaku usaha di sana. Dengan demikian ada ancaman akan mengurangi permintaan sejumlah barang komoditas.
“Dampaknya ke Indonesia akan terasa oleh para emiten yang selama ini banyak melakukan ekspor ke China, seperti batubara, CPO, dan nikel,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (30/1).
Pandhu melihat, kinerja emiten baja tidak akan terdampak signifikan, karena rata-rata emiten penjualannya di pasar domestik.
“Mungkin ada potensi gangguan dari sisi suplai jika pabrik baja di China terdampak, atau bahkan menutup usahanya sebagai akibat dari lesunya sektor properti di sana,” tuturnya.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik Dipicu Situasi Timur Tengah Selasa (30/1), WTI ke US$76,93
Untuk sektor properti domestik, Pandhu melihat dampak buruk secara langsungnya relatif minim. Justru ada peluang jika para investor melihat ada potensi yang lebih baik di Indonesia dan tertarik untuk mengembangkan bisnis properti di sini.
Namun, jika dilihat dari tingkat suku bunga dan pelemahan rupiah saat ini, tentu menjadi tantangan yang cukup berat untuk sektor properti. Sebab, tingkat return properti belakangan ini tidak terlalu menarik bagi para investor, sehingga mereka cenderung memilih investasi sektor lain.
“Mereka bisa juga investasi tanah langsung ke daerah yang dianggap masih memiliki prospek terkait pembangunannya. Misalnya, daerah yang belum banyak dikuasai para pengembang properti yang sudah listing di BEI,” ungkapnya.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan, krisis Evergrande sudah terjadi cukup lama dan puncaknya terjadi pada masa Pandemi Covid-19.
“Namun, untungnya kinerja fundamental sektor properti Tanah Air masih relatif bagus dan diikuti oleh tightening monetary policy dari Bank Indonesia (BI),” ujarnya kepada Kontan, Selasa (30/1).
Nafan melihat, kinerja emiten baja Tanah Air juga masih tertekan di tengah krisis Evergrande. Hal ini disebabkan oleh adanya impor baja yang membuat persaingan pasar baja domestik tinggi.
Baca Juga: Tengok Prediksi IHSG dan Saham-Saham Pilihan Analis untuk Selasa (30/1)
“Di sisi lain, rata-rata emiten baja juga masih small caps to mid caps, sehingga secara teknikal, sahamnya pun tidak terlalu likuid,” tuturnya.
Nafan pun merekomendasikan accumulate untuk SMRA, BSDE, dan PANI dengan target harga masing-masing Rp 625 per saham, Rp 1.120 per saham, dan Rp 5.200 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News