Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi juara dengan jumlah pencatatan saham perdana (listing) tertinggi di Asia Tenggara. Sejak awal tahun hingga 7 Juli 2020, ada 32 emiten yang mencatatkan sahamnya di BEI.
Meski demikian, nilai emisi yang dihasilkan oleh emiten-emiten ini masih cukup mini. Emiten dengan emisi terbesar sepanjang semester pertama 2020 adalah PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE) dengan nilai emisi mencapai Rp 1,03 triliun.
Selain itu, pergerakan saham-saham anyar pun sangat volatile. Tidak jarang, ada saham emiten baru yang saat ini mentok di zona gocap. Contohnya adalah saham PT Agro Yasa Lestari Tbk (AYLS). Emiten yang listing pada Rabu (12/2) ini sempat melonjak menjadi Rp 170 per saham saat perdagangan perdana. Namun, saham AYLS menjadi saham penghuni zona gocap sejak 9 April 2020 silam.
Baca Juga: Jumlah IPO di Indonesia terbanyak se-ASEAN, tanda pasar modal masih prospektif?
Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menekankan pentingnya investor mencermati prospek bisnis emiten, khususnya emiten-emiten pendatang baru. Investor bisa mencermati prospektus untuk menilai prospek bisnis jangka pendek maupun jangka panjang.
“Risiko di bursa saham juga ada sejak IPO maupun ketika perusahaan sudah listing cukup lama. Bahkan ada perusahaan yang sangat kuat dan stabil di suatu periode kemudian menjadi sangat tinggi risikonya ketika kondisi pengelolaan perseroan berubah,” ujar Aria kepada Kontan.co.id, Minggu (19/7).
Per 10 Juli 2020, I Gede Nyoman Yetna Setia, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, masih ada 19 emiten yang masuk pipeline BEI. Ke-19 emiten tersebut bergerak di beberapa sektor, seperti trade, service dan investment, properti, hingga consumers good. Seiring pulihnya kondisi berbagai bidang bisnis di tengah pandemi, Aria menilai berbagai sektor memiliki peluang yang cukup baik untuk bertumbuh.
Hanya saja, dalam konteks menilai perusahaan yang baru dan akan melakukan IPO, Aria menekankan perlunya mencermati prospektus masing-masing emiten. Jika masih ada keraguan untuk membeli di periode IPO, investor bisa melihat minimal dua kuartal ke depan untuk menguji kinerja emiten tersebut pasca listing.
Dengan demikian, investor juga mendapatkan risiko investasi secara lebih terukur serta mendapatkan harga yang lebih sesuai dengan apresiasi pasar terhadap perusahaan tersebut.
“Di bursa manapun di seluruh dunia, tidak ada jaminan dari otoritas bursanya bahwa perusahaan yang listing pasti kinerjanya akan memberikan keuntungan bagi investor.” kata dia.
Baca Juga: Net sell asing Rp 1,13 triliun sepekan, saham apa yang paling banyak dilepas?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News