Reporter: Rashif Usman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melakukan penghapusan pencatatan atau force delisting terhadap 10 emiten, yang berlaku efektif pada 21 Juli 2025. Terkait hal ini, perusahaan tercatat diwajibkan untuk melakukan pembelian kembali atau buyback saham.
Mengacu pada ketentuan dalam POJK 45/2024 Pasal 8 Ayat (3), emiten yang terkena delisting diwajibkan melakukan buyback saham dalam jangka waktu 30 hari setelah pengumuman buyback disampaikan.
Namun hingga kini, baru dua emiten yang telah menyampaikan rencana buyback melalui keterbukaan informasi, yakni PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX) dan PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW).
BEI sebelumnya telah mengumumkan rencana delisting pada 19 Desember 2024 dan memberikan batas waktu hingga 18 Januari 2025 bagi emiten terkait untuk menyerahkan rencana buyback.
Baca Juga: Ada 8 Emiten Delisting Belum Sampaikan Rencana Buyback, Begini Langkah BEI
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengungkapkan bahwa delapan emiten delisting lainnya saat ini sedang menjalani proses hukum akibat status pailit.
Nyoman menerangkan untuk emiten yang sudah diputuskan pailit, langkah selanjutnya akan mengikuti proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Delapan emiten lainnya kan proses dipailitkan, jadi masuk ke proses legal. Dengan adanya pailit tentu diberi kesempatan kepada kurator untuk proses lebih lanjut. Apa prosesnya? nanti mengikuti Undang-undang (UU),” kata Nyoman saat ditemui di gedung BEI, Rabu (16/4) malam.
Ia menambahkan, apabila perusahaan tidak memiliki kecukupan dana untuk melakukan buyback, maka penyelesaian kewajiban akan menggunakan aset yang dikelola oleh kurator.
"Jadi aset yang ada di kurator akan digunakan untuk melakukan penyelesaian atas semua kewajiban, termasuk urutannya sesuai UU," jelas Nyoman.
Baca Juga: Humpuss Intermoda (HITS) akan Delisting, Analis : Sahamnya Sudah Turun 70,71%
Perlindungan Investor
Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menilai situasi delisting tanpa adanya kepastian buyback sebagai kondisi yang krusial. Ia menekankan bahwa apabila emiten tidak memiliki dana atau tidak menunjukkan iktikad baik untuk melaksanakan buyback, hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan investor di pasar modal.
Liza menyampaikan ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh oleh OJK maupun BEI. Pertama, peringatan dan sanksi administratif. OJK dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, hingga pembekuan kegiatan usaha bagi direksi atau emiten yang tidak menjalankan kewajiban sesuai regulasi.
Kedua, pemanggilan manajemen untuk menjelaskan kondisi keuangan dan alasan belum melakukan buyback. Jika ditemukan adanya unsur kesengajaan, tindakan hukum bisa diambil.
Langkah, ketiga, pendekatan restrukturisasi. Dalam beberapa kasus, otoritas dapat mendorong perusahaan untuk melakukan restrukturisasi kewajiban atau mencari skema penyelesaian alternatif. Misalnya, melalui investor strategis baru, skema pembayaran bertahap, atau konversi obligasi/utang menjadi saham bagi investor institusi.
Keempat, perlu adanya kerja sama lintas lembaga. Jika emiten berpotensi gagal bayar dan memiliki dampak sistemik, OJK dapat bekerja sama dengan beberapa Kementerian serta lembaga penegak hukum untuk penyelesaian.
"Investor publik berada dalam posisi yang paling rentan dalam kasus seperti ini. Tanpa buyback, saham mereka menjadi tidak likuid, tidak bisa lagi diperdagangkan di bursa, dan nilainya secara praktis bisa jatuh mendekati nol," terang Liza kepada Kontan, Rabu (16/4).
Baca Juga: Begini Kabar Terbaru dari BEI Soal Proses Delisting Sritex (SRIL)
Liza juga menambahkan bahwa investor masih memiliki opsi untuk menjual saham melalui pasar negosiasi, meskipun ruang ini sangat terbatas dengan tingkat likuiditas yang rendah dan harga yang kerap jauh dari nilai fundamental.
Investor juga dapat menunggu skema penyelesaian khusus. Dalam beberapa kasus, OJK dapat meminta perusahaan tetap menjalankan tanggung jawab melalui skema penyelesaian khusus, seperti buyback bertahap atau penjualan aset untuk memenuhi kewajiban kepada publik.
Apabila terdapat dugaan wanprestasi atau pelanggaran yang menimbulkan kerugian, investor dapat menempuh jalur hukum, termasuk melalui class action. Selain itu, proses penyelesaian juga bisa dilanjutkan melalui mekanisme hukum kepailitan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara itu, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai bahwa kewajiban buyback saham publik idealnya hanya diberlakukan bagi emiten yang melakukan delisting secara sukarela (voluntary delisting).
Menurutnya, dalam kasus forced delisting, penerapan kewajiban tersebut menjadi lebih kompleks. Pasalnya, emiten yang terkena delisting paksa umumnya sedang menghadapi masalah serius, seperti kesulitan keuangan.
"Kalau tidak ada jaminan pribadi dari pemegang saham pengendali dan jaminan korporasi (corporate guarantee), saya juga tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab jika perusahaan tidak memiliki dana untuk melakukan buyback," ujar Budi.
Ia menjelaskan, kewajiban pemegang saham dalam sebuah Perseroan Terbatas (PT) terbatas pada setoran modalnya, kecuali ada jaminan.
"Kalau ekuitasnya sudah negatif, maka perusahaan malah sudah menjadi milik kreditur," terang Budi.
Selanjutnya: PertaLife Catat Pendapatan Premi Rp 1,25 Triliun Sepanjang 2024, Tumbuh 38,73%
Menarik Dibaca: 5 Biji Buah yang Bisa Meningkatkan Kesehatan Tubuh, Salah Satunya Biji Pepaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News