Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan awal pekan ini Senin (4/2) ditutup dengan pelemahan tipis sebesar 0,87% ke level 6.481. Ditutup di zona merah, IHSG berhasil mencatat transaksi sebanyak 418.381 kali dengan nilai total sebesar Rp 8,1 triliun.
Sebanyak 219 saham menguat, 191 saham turun dan 120 saham tak bergeming dari posisi awal pembukaan perdagangan.
Analis Senior Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih mengatakan pelemahan IHSG jelang Tahun Baru China atawa Imlek ini merupakan antisipasi dari rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal keempat tahun 2018 yang kemungkinan tidak sesuai ekspektasi sebelumnya.
"Kalau menurut konsensus pertumbuhan ekonomi ada di level 5,12% kuartal ke kuartal (qoq), saya rasa koreksi harga kali ini adalah bentuk antisipasi rilis pertumbuhan ekonomi," kata Alfatih kepada Kontan.co.id Senin (4/2).
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal keempat tahun 2018 pada Rabu (6/2).
Lebih lanjut menurut Alfatih konsensus telah memperkirakan pendapatan domestik bruto tahunan atau year on year (yoy) sebesar 5,15% dan 5,12 qoq atau -1,76% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Selain itu faktor lain yang ikut berpengaruh adalah periode liburan Imlek yang membuat aktivitas transaksi berkurang dibandingkan hari normal.
Ia memproyeksi IHSG masih akan melanjutkan koreksi kali ini setelah rilis data pertumbuhan ekonomi oleh BPS. "IHSG masih akan koreksi dengan support di kisaran 6430-6400 dan resistance 6550," kata Alfatih.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat tahun 2018 diproyeksi akan bertengger di kisaran 5,15-5,16% secara tahunan atawa year on year (yoy). Angka tersebut ditopang oleh tingginya konsumsi domestik yang tercermin oleh pertumbuhan ritel pada periode yang sama.
Secara terpisah Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan apabila pertumbuhan ekonomi di level 5,15-5,16% berhasil tercapai, tentunya akan lebih baik dibandingkan tahun 2017 yang hanya yang tumbuh 5,07%.
"Tapi jika dibandingkan asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang ada di kisaran 5,4% tentunya masih jauh dari ekspektasi, termasuk juga ekspektasi kami sebelumnya di kisaran 5,2%," kata dia ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI).
Namun, capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15% tidak jadi masalah jika nantinya betul-betul terealisasi lantaran itu akan menjadi capaian terbaik pemerintahan Presiden Joko Widodo selama empat tahun terakhir.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat tahun lalu masih ditopang oleh konsumsi domestik.
"Konsumsi domestik tumbuh dan tercermin dari pertumbuhan ritel sebesar 4,6% pada periode September-Desember 2018 atau sama seperti kuartal sebelumnya," ungkap dia.
Selain itu, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tinggi juga ikut menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal keempat tahun 2018. Hal itu sejalan dengan tingginya pertumbuhan kredit perbankan nasional sebesar 12% yoy.
Asal tahu saja pertumbuhan kontribusi PMTB bersumber dari kredit perbankan. Oleh karena itu pertumbuhan kontribusi PMTB selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan kredit perbankan. "PMTB diproyeksi bisa tumbuh di kisaran 6,3 - 6,7% yoy dan dari sisi realisasi investasi tahun lalu hanya tumbuh 4% atau berada di angka Rp 721.3 triliun," kata Ahmad.
Angka itu kata dia meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 765 triliun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) porsi foreign direct investment alias penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2018 sebesar Rp 99 triliun, atau turun 11,6% yoy yang berada di posisi Rp 112 triliun.
"Memang foreign direct investment tidak mencapai target, tapi kalau PMTB dalam negeri tumbuh, searah dengan pertumbuhan kredit perbankan," ujar Ahmad.
Kemudian Ahmad bilang bahwa biang kerok yang menurunnya pertumbuhan ekonomi tahun lalu bersumber dari neraca perdagangan yang defisit. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2018 defisit US$ 8,57 miliar atau rekor terparah sejak satu dekade lalu.
Defisit tersebut disebabkan oleh melonjaknya impor hingga 20,15% atau senilai US$ 188,63 miliar. Padahal tahun sebelumnya nilai impor hanya mencapai US$ 156,99 miliar.
"Melihat konsumsi domestik, investasi di tahun 2018 bisa dibilang kuat, tapi defisit akibat impor itu yang akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi," ujar Ahmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News