kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Awal tahun, perbankan ramai-ramai memburu SBN


Senin, 16 Januari 2017 / 20:13 WIB
Awal tahun, perbankan ramai-ramai memburu SBN


Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Perbankan terus memburu surat berharga negara (SBN) di awal tahun 2017 ini. Hingga 11 Januari 2017 saja, porsi kepemilikan bank sudah tumbuh sebesar 26,85% dari posisi di akhir 2016.

Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, perbankan sudah mengoleksi SBN senilai Rp 506,72triliun atau sekitar 28,42% dari seluruh SBN yang dapat diperdagangkan. Padahal, di akhir tahun 2016 saja, perbankan hanya memiliki SBN senilai Rp 399,46 triliun.

Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro melihat, kenaikan ini tergolong besar jika dibandingkan dengan periode sama awal tahun 2016 yang naik sebesar 23,60%. Bahkan, pada periode sama tahun 2015, kepemilikan perbankan di SBN hanya naik sebesar 8,04%.

Nicodimus memprediksi, banyak bank memburu SBN di awal tahun untuk meminimalisir risiko terhadap dana yang dimiliki terhadap ketatnya likuiditas perbankan dan tingginya angka kredit macet atawa non performing loan (NPL). “Dengan menempatkan dananya di SBN, bank juga berpotensi mendapatkan gain tambahan,” kata dia.

Kenaikan porsi kepemilikan perbankan di SBN pada awal tahun seperti ini memang jamak terjadi. “Itu karena kondisi likuiditas perbankan masih longgar di tengah minimnya penyaluran kredit,” terang Senior Research and Analyst Pasar Dana Beben Feri Wibowo.

Di sisi lain, Beben mencatat, sepanjang Desember 2016, kepemilikan bank di SBN justru menyusut 8,49% atau sebesar Rp 37,04 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya. “Dugaannya, ada dana yang tersisa dari penarikan senilai Rp 37,04 triliun tersebut di kas perbankan, sehingga kemungkinan dikembalikan ke SBN,” tambah Beben.

Apalagi, secara fundamental, keadaan dalam negeri juga masih terhitung baik dan masih memberikan rasa kepercayaan investor termasuk perbankan untuk masuk ke pasar SBN.

Namun demikian, bertambahnya kepemilikan perbankan di SBN justru berbanding terbalik dengan kepemilikan Bank Indonesia (BI) yang justru menurun. Per 11 Januari 2017, BI mencatatkan kepemilikan sebesar Rp 31,24 triliun atau menurun sekitar 76,73% dari posisi akhir tahun 2016 yang tercatat sebesar Rp134,35 triliun.

Maka dari itu, Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar melihat, di tengah kenaikan kepemilikan perbankan, ada operasi moneter yang dilakukan oleh BI. “BI menjual obligasinya, agar bisa menarik dana dari masyarakat,” ujar dia.

Anil menambahkan, transaksi repo dari bank ke BI cukup memberi angin segar bagi para investor, karena menandakan pemerintah serius untuk menstabilkan pasar uang.

Membesarnya kepemilikan bank di SBN ini sendiri, menurut Nicodimus, adalah sebuah hal yang positif karena bisa meredam tekanan dari pasar global. “Asalkan, sentimen eksternal tersebut tidak menyebabkan panic selling yang berlebihan,” ujar dia. Belum lagi, seiring tingginya aksi beli terhadap seri-seri SBN yang diakumulasi, maka harga seri-seri tersebut juga akan terkerek naik dan berdampak pada positifnya kinerja pasar SBN.

Masih berlanjut

Nicodimus memprediksi, ke depan, tumbuhnya kepemilikan industri perbankan masih akan berlanjut. Tapi, hal itu harus dibarengi dengan kondisi fundamental ekonomi domestik yang terus stabil dan membaik di tengah bayang-bayang volatilitas tekanan global. Apalagi jika pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di tengah masih melambatnya tingkat penyaluran kredit.

Namun demikian, Nicodimus mengingatkan bahwa masih ada sentimen negatif yang datang dari luar negeri, terutama Amerika Serikat (AS). Jika presiden terpilih AS Donald Trump benar-benar menerapkan janji-janji kampanyenya dan menimbulkan gejolak di pasar global, rencana kebijakan stimulus Trump akan meningkatkan inflasi AS lebih cepat dan akan mempengaruhi agresifnya kenaikan suku bunga acuan The Fed pada tahun 2017 ini.

Anil sendiri melihat, pidato perdana Trump sebagai presiden terpilih AS ke-45 kurang menggigit dan tak terlalu banyak membahas soal isu ekonomi, sehingga banyak investor dunia yang menduga Trump akan melunak saat sudah menduduki Gedung Putih secara resmi.

“Namun, kita tak pernah tahu apa yang akan dia lakukan setelah dilantik. Untuk jangka pendek, saya kira pasar SBN masih akan tetap aman,” terang Anil.

Selain fakor dari luar negeri, Anil juga mengajak kita untuk mencermati kondisi perekonomian domestik. Ketika inflasi Indonesia membesar akibat kenaikan harga bahan bakar minyak non-subsidi dan pengalihan subsidi listrik 900 VA, maka pasar surat utang Indonesia bisa turut terdampak.

Anil memprediksi, di akhir 2017 nanti, yield SUN tenor sepuluh tahun akan berada pada kisaran 7,5% hingga 7,75%. Sementara menurut hitungan Beben, yield SUN tenor sepuluh tahun akan berada di kisaran 7,4% hingga 8,6% di akhir tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×