Reporter: Yasmine Maghfira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mempercepat penghentian ekspor bijih nikel alias ore per Selasa (29/10). Kesepakatan atas larangan tersebut melibatkan pemerintah, asosiasi nikel, dan pengusaha.
Lantas, bagaimana prospek nikel hingga akhir tahun 2019 ini dan juga tahun depan?
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim mengungkapkan langkah yang dilakukan pemerintah mengenai percepatan penghentian ekspor terbilang cukup baik.
Baca Juga: Larangan ekspor bijih nikel dipercepat, begini tanggapan produsen nikel
Sebab, tujuan larangan ekspor ini terkait dengan cadangan serta pertambahan nilai nikel di dalam negeri. Pemerintah juga mempercepat penghentian ekspor nikel untuk mendukung upaya hilirisasi.
"Langkah ini tepat karena pemerintah ingin fokus hilirisasi. Mereka ingin transparansi letak tambangnya, prosesnya, dan juga kepemilikan smelter itu sendiri. Apalagi karena pemerintah nantinya ingin menjual nikel sebagai bahan mentah," ujar Ibrahim kepada Kontan.co.id.
Maksudnya adalah Indonesia bisa menjual nikel setelah diolah oleh para pengusaha smelter, bukan seperti kondisi sekarang yan di ekspor justru dari bijih nikelnya. Hal itu pula yang menjadi masalah utama di Indonesia, keterbatasan bahan baku.
Baca Juga: Larangan ekspor bijih nikel berlaku, volume transaksi saham INCO dan ANTM terbesar
Keterbatasan bahan baku berupa bijih tambang (ore) disebabkan adanya kegiatan ekspor bahan mentah ilegal, seperti bijih nikel, sehingga para pengusaha smelter bersaing memperebutkan bahan baku yang jumlahnya semakin berkurang.
Saat masih mengekspor bijih nikel, Indonesia bisa mengalami kekurangan cadangan jika terus-menerus seperti itu. Ditambah lagi, smelter-smelter di luar seperti Uni Eropa, menjual kembali nikel olahan dengan harga yang lebih tinggi.
"Karena itu, saya rasa pemerintah mempercepat ini agar tambang nikel kita aman dan harga jual kita bisa lebih tinggi," tambah Ibrahim.
Baca Juga: Larangan ekspor bijih nikel berlaku per 29 Oktober 2019, begini kata Kementerian ESDM
Ibrahim juga menyampaikan ekspor untuk kontrak antara bulan November hingga Desember tidak akan dihentikan, melainkan akan tetap berlangsung. Sebab, ada perusahaan smelter yang memang sudah tekan kontrak di periode sebelumnya. Sehingga tidak akan ada masalah bagi perusahaan yang sedang tekan kontrak untuk ekspor hingga akhir tahun.
Di sisi lain, Ibrahim menilai percepatan penghentian ekspor ini bisa jadi strategi pem4rintah karena adanya perang dagang. Apalagi saat ini ekspor untuk nikel sedikit dan melemah, serta harganya juga relatif lebih rendah.
"Guna mengangkat harga nikel, pemerintah menghentikan seketika ekspor nikel yang tadinya tahun 2020 menjadi 2019," kata Ibrahim. Menurutnya, cara yang dipilih pemerintah dapat menjaga harga nikel stabil ke depannya.
Baca Juga: Mulai Hari Ini, 29 Oktober 2019 Ekspor Bijih Nikel distop premium
Sementara itu, mengutip data Bloomberg pada Senin (28/10), harga nikel untuk pengantaran tiga bulan ke depan di London Metal Exchange (LME) berada di level US$ 16.640 per metrik ton.
Dengan adanya kebijakan larangan ekspor ini, Ibrahim menilai tahun depan tidak akan ada ekspor nikal. Alhasil, kebijakan itu sangat berpengaruh kepada perusahaan pengekspor nikel.
Namun, ia menilai prospek harga nikel masih akan baik. Sebab, dengan turunnya ekspor dari Indonesia, masih ada negara pengekspor nikel lain, seperti Rusia dan Filipina.
Ibrahim memperkirakan harga nikel sampai akhir tahun ini bisa mencapai kisaran US$ 19.000 per metrik ton. Sementara, tahun depan harga nikel ia perkirakan stabil di rentang US$ 16.000 - US$ 19.000 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News