Reporter: Yuliana Hema | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki bulan kesembilan, idiom September Effect kembali berdengung di kalangan investor pasar saham. Bahkan, September dianggap sebagai bulan yang buruk bagi bursa saham.
Bukan tanpa alasan, dalam satu dekade terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung tertekan. Dari 10 kali September, hanya tiga kali IHSG berhasil mencetak return positif.
Koreksi pada IHSG setiap September ini bakan disebut-sebut dari Summer Effect, yang mana pada periode musim pasar para fund manager akan menahan diri untuk bertransaksi karena berlibur.
Namun sepanjang September ini, IHSG sudah menguat 1,18% secara month to date (mtd). Bahkan IHSG kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada perdagangan Selasa (10/9).
IHSG menutup perdagangan dengan menguat 0,76% atau naik 58,64 poin ke level 7.761,38 pada Selasa (10/9). Ini merupakan rekor terbaru dari level sebelumnya di 7.721,84 yang berhasil ditembus pada Jumat (6/9).
Baca Juga: IHSG Berpotensi Menguat Pada Rabu (11/9), Intip Rekomendasi Saham Berikut
Direktur Purwanto Asset Management Edwin Sebayang mencermati, untuk tahun ini kondisi IHSG dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) berbeda ketika memasuki bulan September.
"Secara global, September tahun ini merupakan masa penantian di mana diharapkan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps)," katanya saat dihubungi Kontan, Selasa (10/9).
Perlu diingat, IHSG sudah naik kencang sepanjang tahun ini. Per Selasa (10/9), IHSG sudah menguat 6,72% secara year to date (ytd). Begitu pula dengan DJIA yang sudah naik 8,33% secara ytd per Senin (9/9).
Edwin bilang kalau ternyata pada Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 bps, maka ada potensi terjadi Sell on News.
"Jadi sangat wajar jika The Fed jadi menurunkan 25 bps, pasar akan diwarnai aksi profit taking karena pasar sudah priced in penurunan tersebut," ucap dia.
Setali tiga uang, Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina juga menekankan adanya potensi Sell on News, jika pemangkasan suku bunga sesuai dengan ekspektasi pasar.
Baca Juga: Lampaui Target BEI, RNTH Berpotensi Tembus Rp 13 Triliun di Akhir 2024
Namun cerita akan berbeda, kalau The Fed mengambil langkah lain dalam FOMC mendatang. Misalnya, bank sentral Negeri Paman Sam ini memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar 50 bps.
"Tapi sampai akhir tahun, kami masih optimis IHSG bisa mencetak rekor tertinggi lagi. Kami tetap optimis untuk target IHSG berada di level 7.915," kata Martha.
Strategi Investasi
Martha menilai adanya potensi koreksi usai FOMC The Fed bisa menjadi kesempatan bagi investor melakukan Buy on Weakness (BoW) alias membeli jika harganya sudah turun.
"Memang lebih baik menunggu dulu di harga yang lebih rendah di minggu ketika atau akhir September. Secara keseluruhan bisa Buy on Weakness," jelasnya.
Adapun untuk sisa tahun ini, saham pilihan Mirae Asset Sekuritas kebanyakan jatuh pada saham-saham konsumer, yaitu TLKM, BMRI, BBCA, BBRI, ICBP, MYOR, MAPI, ACES dan SIDO.
Sementara itu, Edwin mengatakan fund manager dalam negeri sedang menunggu susunan kabinet di pemerintah terbaru serta program kerja 100 hari pertama yang akan dilakukan di tengah penguatan nilai tukar rupiah.
Untuk itu, lanjut dia, investor bisa mencermati saham-saham yang sensitif dengan suku bunga dan nilai tukar rupiah. Misalnya, perbankan, properti, konsumen primer, konsumen non primer, ritel, unggas dan produk susu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News