Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Masalah di tubuh PT Garda Tujuh Buana Tbk (GTBO) semakin rumit. Setelah ada kejanggalan atas kontrak penjualan batubaranya, kepemilikan saham di PT Garda Minerals, salah satu pemilik GTBO, ternyata tidak beres. Tata kelola perusahaan ini pun dipertanyakan.
Masalah baru ini berawal dari sengketa kepemilikan saham di PT Garda Minerals, salah satu pemilik saham GTBO. Fakir Chand, Direktur Garda Minerals mengklaim telah terjadi peralihan saham di Garda Minerals tanpa sepengetahuan dirinya.
Berdasarkan Rapat Umum Pememgang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Garda Minerals per 31 Agustus 2012, Fakir Chand memiliki 2.099 unit saham di perusahaan itu. Dalam RUPSLB itu, Fakir Chand juga ditunjuk sebagai Direktur Garda Minerals dan Alisa Yuniarti sebagai Komisaris Garda Minerals.
Tapi pada 26 September 2012, kepemilikan saham Fakir Chand di Garda Minerals bertambah menjadi 9.900 unit saham. Bahkan, Alisa tercatat memiliki saham sebanyak 100 unit saham. Fakir mengklaim tidak pernah mengubah komposisi saham tersebut.
Masalah lebih pelik terjadi pada 1 Oktober 2012. Kepemilikan saham Garda Minerals beralih ke dua pihak yaitu Octavianus Wenas dan Michel Wenas. Perinciannya, Octavianus memiliki 2.079 saham dan Michel 21 unit saham Garda Minerals.
"Saya tidak pernah melakukan transaksi jual beli saham Garda Minerals kepada dua pihak itu," kata Fakir di Jakarta, Senin (22/10). Masalah tersebut tentu berhubungan dengan kepemilikan saham di GTBO.
Maklumlah, Garda Minerals saat ini menguasai 26,6% saham GTBO. Fakir Chand juga secara pribadi memiliki 5.000 unit saham atau 0,002% saham GTBO. Artinya, kepemilikan saham Garda Minerals di GTBO bukan hanya berada di tangan Fakir Chand, tetapi juga tersebar ke dua pihak tersebut.
Silang sengkarut kepemilikan saham di Garda Minerals kemudian menimbulkan friksi di jajaran komisaris dan direksi GTBO. Ini tecermin dari RUPSLB GTBO kemarin.
Fakir mengklaim RUPSLB yang mengagendakan pergantian direksi dan komisaris itu tidak sah karena tidak dipimpin oleh dia sebagai Presiden Komisaris GTBO. RUPSLB itu dipimpin Pardheep Dhir yang menjabat Komisaris GTBO. "Mereka menyatakan jabatan saya kedaluarsa karena sudah tiga tahun. Seharusnya, saya pimpin dulu RUPSLB ini, baru serah terima, kalau memang saya diganti," ujar Fakir.
Direktur Independen GTBO, Sharan, juga mengalami hal serupa. Dia mengklaim tidak pernah mendapat pemberitahuan bahwa dirinya bakal dilengserkan dari jabatan tersebut. Sharan juga menyatakan RUPSLB GTBO kemarin tidak sah karena dipimpin oleh warga negara asing yaitu, Pardheep Dhir.
Friksi di tubuh manajemen GTBO tidak berhenti sampai di situ. Mas Phillian, Kuasa Hukum Fakir Chand menilai, Pardheep juga tidak memiliki izin kerja di Indonesia sejak tahun 2010 silam. "Pardheep Dhir saat RUPSLB kemarin langsung dibawa petugas imigrasi," kata Phillian.
Sejauh pengamatan KONTAN, selepas RUPSLB, Pardheep bersama ML Puri, Presiden Komisaris GTBO yang baru dan Gurmeet Aman Bedi, Direktur GTBO, memang diinterogasi oleh dua petugas imigrasi.
Tapi Pardheep enggan memberikan penjelasan terkait tuduhan dari kubu Fakir Chand. Dia menghindari wartawan dengan pergi melalui pintu belakang Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, tempat RUPSLB berlangsung.
KONTAN sudah mencoba menghubungi Pardheep secara langsung untuk memintai konfirmasi mengenai masalah kepemilikan saham GTBO. "Nanti, saya akan menghubungi Anda lagi," kilah Pardheep.
Friksi di tubuh manajemen ini menambah misteri GTBO. Sebelumnya, GTBO juga melakukan kontrak jual beli 10 juta ton batubara yang tak lazim dengan perusahaan asal Uni Emirat Arab (UEA).
GTBO memberi wewenang ke pembeli untuk menambang langsung di area konsesi perusahaan. Klausul ini mengalihkan risiko penambangan ke pembeli. Kompensasi bagi pembeli, GTBO mengenakan harga jual lebih murah, US$ 25 per ton, dari yang umum berlaku, US$ 40 per ton.
Skema pembayaran transaksi jual beli juga tak lazim. GTBO mewajibkan pembeli membayar di muka, jauh sebelum pengiriman batubara. Ini yang
kemudian melambungkan laba bersih GTBO di semester I 2012 menjadi Rp 939,81 miliar. Padahal, di semester I 2011, laba bersih GTBO hanya senilai Rp 12,71 miliar.
Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meminta GTBO untuk meminta konfirmasi ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral tentang kontrak itu. Sembari menunggu kejelasan transaksi, BEI mensuspensi saham GTBO sejak 15 Oktober 2012.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News