Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina, Agustinus Beo Da Costa, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. PT Garda Tujuh Buana Tbk belum terbuka menanggapi kejanggalan transaksi batubara yang mereka lakukan. Hingga kemarin, manajemen emiten berkode saham GTBO ini belum memberikan penjelasan ke Bursa Efek Indonesia karena masih menunggu konfirmasi dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Pardeep Dhir, Komisaris Garda Tujuh Buana, menolak memberikan penjelasan atas kelanjutan permasalahan transaksi batubara. "Saya dalam posisi tidak siap memberikan penjelasan kepada Anda," kata Pardeep kepada KONTAN, Kamis (18/10).
Perkara transaksi jual beli batubara GTBO kembali mengemuka beberapa hari lalu. BEI menghentikan sementara perdagangan saham GTBO pada 15 Oktober 2012. Alasannya, BEI meminta GTBO melakukan konfirmasi ke Dirjen Minerba terkait keabsahan transaksi jual-belinya.
Transaksi yang dimaksud adalah kontrak jual-beli 10 juta ton batubara dengan pembeli asal Uni Emirat Arab (UEA). Kontrak itu tercantum di laporan keuangan GTBO per 30 Juni 2012.
Kontrak itu akan dilakukan dalam tiga periode pengiriman. Pertama, pengiriman 3 juta ton dilakukan sebelum 31 Desember 2014. Kedua, sebanyak 3,5 juta ton dikirim sebelum 31 Desember 2015. Ketiga, pengiriman 3,5 juta ton batubara dilakukan sebelum 31 Desember 2016.
Masalahnya, kontrak jual beli itu memiliki klausul yang tak umum. Pembeli punya opsi memakai jasa kontraktor sendiri untuk menambang batubara di area konsesi Garda Tujuh di Pulau Bunyu, Kalimantan Timur.
Klausul seperti ini membuat risiko aktivitas penambangan menjadi tanggungan pembeli. Terkait hal ini, GTBO kemudian memberi harga jual batubara lebih murah yaitu US$ 25 per ton dari seharusnya US$ 40 per ton.
Dalam penjelasan resmi ke BEI per 10 September 2012, GTBO menyatakan klausul transaksi itu wajar. Garda Tujuh mengklaim tipe perjanjian seperti itu sudah umum dilakukan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) skala kecil demi mengakomodasi permintaan pembeli untuk menambang di lokasi pemegang IUP.
Tapi Garda Tujuh mengakui belum memasukkan aplikasi ke Kementerian ESDM untuk meminta izin khusus berkaitan dengan transaksi yang tak lazim itu. Klausul kontrak ini menjadi dasar BEI meminta GTBO melakukan konfirmasi ke Kementerian ESDM sebagai pihak yang lebih berkompeten menentukan keabsahan transaksi tersebut.
"Secara umum, setiap keterbukaan informasi emiten, Bursa akan menelaah informasi dan mempelajari keterkaitan dengan aturan yang berlaku," ujar Uriep Budi Prasetyo, Direktur Pengawasan dan Kepatuhan BEI belum lama ini.
Sayangnya, Pardeep kembali enggan berkomentar terkait langkah-langkah yang diambil Garda Tujuh atas permintaan BEI. "No comment," ujar dia.
Direktur Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Edi Prasodjo, Rabu (17/10), menyatakan transaksi harga batubara di Indonesia harus sesuai ketentuan, antara lain menggunakan harga batubara acuan (HBA), yang kemudian diturunkan ke harga patokan batubara (HPB). Pada Oktober 2012, HBA di Indonesia senilai US$ 86,04 per ton.
Edi mengaku belum menerima laporan manajemen GTBO, sebagaimana permintaan BEI. Untuk menilai apakah harga batubara GTBO di US$ 25 per ton melanggar aturan atau tidak, Kementerian ESDM harus memeriksa dulu kandungan kalorinya. "Lalu dihitung berapa harga seharusnya," ungkap Edi. Sejauh ini, GTBO dalam laporan keuangan belum mencantumkan kandungan kalori batubaranya.
Klausul kontrak jual beli Garda Tujuh memang berdampak signifikan ke laporan keuangan perusahaan. Terlebih skema pembayaran transaksi diatur tak biasa. GTBO mewajibkan pembeli untuk membayar di muka jauh sebelum pengiriman batubara dilakukan.
Perinciannya, pembeli wajib membayar US$ 75 juta sebelum 30 Juni 2012. Di tahap kedua, pembeli wajib membayar US$ 87,5 juta sebelum 30 Juni 2013. Terakhir, nilai pembelian US$ 87,5 juta harus dibayar sebelum 30 Juni 2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News